KPK periksa Dirut PT MTI
23 Desember 2016 13:25 WIB
Ketua KPK Agus Rahardjo (kanan) bersama Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif (tengah) dan Juru bicara KPK Febri Diansyah memberikan konferensi pers operasi tangkap tangan (OTT) pejabat Bakamla di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (15/12/2016). (ANTARA /Hafidz Mubarak A)
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia (MTI) Fahmi Darmawansyah sebagai saksi kasus dugaan penerimaan suap terkait pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla).
"Saudara FD (Fahmi Darmawansyah) sudah datang hari ini, penjadwalan ulang pemanggilan kemarin," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Jumat.
Fahmi dipanggil pada Kamis (22/12) namun ia tidak memenuhi panggilan dan meminta penjadwalan ulang pemeriksaan menurut pengacaranya. Dalam perkara ini Fahmi juga merupakan tersangka.
Febri menjelaskan bahwa Fahmi, yang tercatat sebagai bendahara Majelis Ulama Indonesia periode 2015-2020 di laman organisasi tersebut, pergi keluar negeri sebelum terjadi Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 14 Desember 2016.
Kasus ini bermula dari Operasi Tangkap Tangan KPK pada Rabu (14/12) terhadap Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla merangkap Kuasa Pengguna Anggaran Edi Susilo Hadi, dan tiga orang pegawai PT MTI bernama Hardy Stefanus, Muhammad Adami Okta dan Danang Sri Radityo di dua tempat berbeda di Jakarta.
Eko diduga menerima Rp2 miliar sebagai bagian dari Rp15 miliar komitmen bayaran 7,5 persen dari total anggaran pengadaan alat monitoring satelit yang nilainya Rp200 miliar.
KPK baru menetapkan Eko sebagai tersangka penerima suap dan Hardy, Muhammad Adami Okta serta Fahmi sebagai tersangka pemberi suap. Danang masih berstatus sebagai saksi.
Paket Pengadaan Monitoring Satelit Bakamla dengan nilai pagu paket Rp402,71 miliar sudah selesai lelang pada 9 Agustus 2016. Pemenang tendernya PT MTI yang beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam Raya Jakarta Selatan.
"Saudara FD (Fahmi Darmawansyah) sudah datang hari ini, penjadwalan ulang pemanggilan kemarin," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Jumat.
Fahmi dipanggil pada Kamis (22/12) namun ia tidak memenuhi panggilan dan meminta penjadwalan ulang pemeriksaan menurut pengacaranya. Dalam perkara ini Fahmi juga merupakan tersangka.
Febri menjelaskan bahwa Fahmi, yang tercatat sebagai bendahara Majelis Ulama Indonesia periode 2015-2020 di laman organisasi tersebut, pergi keluar negeri sebelum terjadi Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 14 Desember 2016.
Kasus ini bermula dari Operasi Tangkap Tangan KPK pada Rabu (14/12) terhadap Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla merangkap Kuasa Pengguna Anggaran Edi Susilo Hadi, dan tiga orang pegawai PT MTI bernama Hardy Stefanus, Muhammad Adami Okta dan Danang Sri Radityo di dua tempat berbeda di Jakarta.
Eko diduga menerima Rp2 miliar sebagai bagian dari Rp15 miliar komitmen bayaran 7,5 persen dari total anggaran pengadaan alat monitoring satelit yang nilainya Rp200 miliar.
KPK baru menetapkan Eko sebagai tersangka penerima suap dan Hardy, Muhammad Adami Okta serta Fahmi sebagai tersangka pemberi suap. Danang masih berstatus sebagai saksi.
Paket Pengadaan Monitoring Satelit Bakamla dengan nilai pagu paket Rp402,71 miliar sudah selesai lelang pada 9 Agustus 2016. Pemenang tendernya PT MTI yang beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam Raya Jakarta Selatan.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016
Tags: