Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia harus cermat dan hati-hati terhadap setiap butir yang tercantum dalam perjanjian ekstradisi dengan Singapura sebelum ditandatangani pada 27 April 2007 mendatang. "Kita sudah terlalu lama untuk menyepakatinya. Singapura terlalu sering mengulur-ulur waktu untuk menyepakati perjanjian ekstradisi. Jangan sampai kita 'dikadalin' lagi," kata Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR Abdillah Thoha, di Jakarta, Selasa. Diingatkannya bahwa pemerintah harus benar-benar mencermati setiap pasal demi pasal perjanjian itu agar ke depan, Indonesai tidak begitu saja mudah dikelabui oleh Singapura dan berujung kerugian besar bagi Indonesia. Tidak itu saja, tambah Abdillah, pemerintah juga harus membeberkan secara terbuka apa saja isi yang diatur dalam perjanjian ekstradisi tersebut. Hal senada diungkapkan anggota Komisi I Djoko Susilo yang juga menekankan perlunya bagi pemerintah untuk lebih mencermati subtansi jangka panjang perjanjian ekstradisi dengan Singapura, terutama terkait dengan kejahatan kerah putih (white collar crime). "Jangan pikirkan kepentingan jangka pendek soal pasir, lalu mereka teken. Masih ada pasal-pasal yang belum jelas. Dan jangan sampai ini sebagai akal-akalan Singapura saja yang masih melindungi penjahat kerah putih Indonesia," tuturnya. Ia menilai ada beberapa pasal yang belum tegas, yakni mengenai apakah uang yang dibawa kabur oleh para koruptor Indonesia bisa dikembalikan ke Indonesia setelah penandatanganan perjanjian ekstradisi tersebut. Menurut Joko, subtansinya bukan hanya soal pasir, tetapi Singapura menjadi penadah uang-uang hasil korupsi dan penjarahan warga Indonesia. "Soal itu belum tuntas dibahas atau diperjelas dalam pasal-pasalnya," katanya.(*)