"Kami mengerucutkan dalam sembilan jenis sebagai perluasan bentuk kekerasan seksual dalam RUU PTKS," kata Wakil Ketua Komisi Nasional Perempuan, Budi Wahyuni, di Semarang, Sabtu.
Perluasan bentuk kekerasan seksual itu, kata dia, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.
Dia menjelaskan, kasus kekerasan seksual terus terjadi kian hari dan tentunya tidak bisa dibiarkan, apalagi tidak semata diakibatkan dorongan seksual, tetapi relasi kuasa yang tidak imbang.
"Akibatnya, korban belum bisa mendapatkan posisi yang memadai dalam perlindungan, informasi, dan keadilan, serta jaminan tidak terjadi keberulangan," katanya.
Ia mencontohkan temuan banyaknya kalangan ibu rumah tangga yang terpapar virus HIV/AIDS, padahal sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah dan hanya beraktivitas seksual dengan suami.
"Artinya, ada ketidakterusterangan atau suami tidak menyatakan secara terbuka kepada istrinya bahwa pernah melakukan hubungan seksual selain dengan istrinya dan tertular HIV/AIDS," kata Wahyuni.
Di dalam RUU PTKS, kata dia, kasus semacam itu termasuk dalam kekerasan seksual, yakni pada kategori eksploitasi seksual karena semestinya ada keterbukaan dalam relasi rumah tangga.
"Saat ini, RUU PTKS sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2017," kata dia.
Sementara itu, Direktur Rutgers WPF Indonesia, Monique Soesman, yang juga menjadi pembicara seminar itu mengakui kekerasan seksual banyak juga dialami remaja, khususnya perempuan saat masa pacaran.
Rutgers WPF Indonesia adalah organisasi yang bekerja di bidang kesehatan reproduksi, seksualitas, dan penanggulangan kekerasan.
"Remaja perempuan dibujuk (berhubungan seksual), diancam, dan kemudian menyerah. Hasilnya, kehamilan yang tidak diinginkan. Makanya, perlu pendidikan seksualitas komprehensif," tegasnya.