Jakarta (ANTARA News) - Masalah pemanasan global, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, harus menjadi isu bersama yang bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja namun juga masyarakat, demikian Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin, di Jakarta, Senin. Seusai acara Diskusi Publik Jelang Tanwir Muhammadiyah 2007 "Climate Change and Global Warning", Apa dan Bagaimana Sikap Kita", dikatakannya, rekonstruksi atau perbaikan kondisi lingkungan itu perlu dilakukan bersama-sama. Pasalnya, Al-Qur`an sudah menyebutkan bahwa telah terjadi kerusakan dan kebinasaan akibat ulah manusia. Ia menyatakan terjadinya pemanasan global, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan itu, ada kaitannya dengan budaya dan perilaku manusia. "Hingga diperlukan sikap kesadaran manusia untuk melakukan konstruksi/perbaikan," katanya. Sementara itu, pakar lingkungan dari Universitas Gajah Mada (UGM) yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Lingkungan Hidup (LHH) PP Muhammadiyah, Prof Dr Muhjidin Mawardi, mengatakan, mereka yang melanggar Protokol Kyoto untuk turut diberi sanksi pula. "Jangan hanya diberikan pada nuklir saja, namun juga kepada pelanggar Protokol Kyoto, seperti, Amerika Serikat (AS) yang menolak meratifikasi protokol tersebut," katanya. Selain itu, kata dia, diperlukan upaya mendorong menyepakati dan melaksanakan kesepakatan dan persetujuan internasional tentang pengurangan pemanasan global, atau perlu dibentuk instrumen/ perjanjian baru yang disepakati dan dipatuhi oleh semua negara. Ia mengatakan selama 100 tahun terakhir, rata-rata suhu bumi telah meningkat sebesar 0,6 derajat Celcius, dan diperkirakan akan meningkat sebesar 1,4 sampai 5,8 derajat Celcius pada 2050. Kenaikan suhu ini, akan mengakibatkan mencairnya es di kutub, menaikkan suhu lautan hingga volume dan muka air laut meningkat. "Penyebab utama pemanasan bumi ini adalah pembakaran bahan bakar fosil terutama batu bara, minyak bumi, dan gas alam yang melepas karbondioksida (Co2) dan gas-gas lainnya yang disebut sebagai gas rumah kaca ke atmosfer bumi," katanya. Akibat langsung dari adanya pemanasan global itu, seperti, perubahan cuaca dan iklim global, sistem pertanian dan persediaan bahan makanan, migrasi hewan dan penurunan jumlah spesies hewan dan tumbuhan. Selanjutnya, krisis sumber daya air yang mempunyai potensi untuk terjadinya konflik antar sektor dan antar pengguna. "Dampak lainnya terhadap kesehatan manusia dengan munculnya berbagai penyakit hewan dan manusia," katanya. Pengendalian yang dapat dilakukan terhadap pemanasan global itu, antara lain mengurangi produksi gas Co2 dengan mengurangi pemanfaatan bahan bakar fosil dan produksi gas rumah kaca. Namun hal ini sulit dilakukan karena negara-negara industri terutama AS tidak bersedia mengurangi produksinya. Kemudian, menekan atau menghentikan penggundulan hutan, serta penghutanan kembali secara besar-besaran untuk menciptakan wilayah serapan gas Co2. Serta melokalisasi gas Co2 atau dengan menangkap dan menyuntikkannya ke dalam sumur-sumur minyak bumi untuk mendorong minyak bumi ke permukaan. "Teknologi sudah bisa digunakan mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan dan "renewable"," katanya. Sedangkan Kepala Direktorat Lingkungan Hidup Departemen Luar Negeri (Deplu), Dewi Savitri Wahab, mengatakan, Rio Summit 1992 dan Protokol Kyoto 1997, telah menyebutkan adanya pengurangan emisi dari negara-negara maju. Negara Eropa diminta untuk mengurangi delapan persen penggunan emisi, AS tujuh persen dan Jepang enam persen.(*)