Jakarta (ANTARA News) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengimbau agar media bijak dalam menyiarkan sidang kasus Petahana Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang akan disidangkan pada Selasa (13/12).

"Media agar bijak dalam menyiarkan sidang kasus bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) mengingat dampak kasus ini sangat besar," kata Ketua Umum AJI, Suwarjono di Jakarta, Senin malam.

Dalam keterangan tertulis tersebut, ia juga menjelaskan bahwa media memang punya kewajiban untuk menyiarkan berita sebagai bagian dari fungsinya untuk memenuhi kebutuhan publik akan informasi. Menyiarkan proses persidangan sepanjang dibolehkan pengadilan, adalah bagian dari kebebasan pers, namun Suwarjono juga mengingatkan soal tanggungjawab lainnya, yaitu menjaga kepentingan yang lebih besar.

"Karena itu penting bagi media untuk mempertimbangkan dampak positif atau negatifnya. Untuk isu SARA, saya berharap media tidak mengejar rating atau jumlah penonton, bisnis atau untuk memenuhi keinginan politik yang berperkara. Namun juga mempertimbangkan efek yang muncul akibat pemberitaan," katanya.

Kebebasan pers, menurut Suwarjono, dijamin oleh Konstitusi dan Undang Undang Pers. Hal tersebut juga dituangkan dalam preambule Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Ia juga mengatakan, preambule KEJ tidak hanya menyatakan secara eksplisit soal kebebasan pers, tapi juga soal kewajiban pers yang lebih besar.

"Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama," kata dia, mengutip preambule KEJ. Suwarjono menyadari bahwa keputusan akhir untuk menyiarkan langsung atau tidak, sepenuhnya di tangan pengelola media penyiaran.

Kemudian, senada dengan Suwarjono, Ketua Bidang Penyiaran AJI Indonesia Revolusi Riza menambahkan, kasus yang menimpa Ahok ini, bukan semata kasus pidana biasa. Kasus ini tergolong sensitif dan bisa membahayakan kebhinekaan bangsa ini jika tidak dikelola dengan tepat.

"Peran media cukup besar dalam soal ini," kata Revo. "Siaran media yang proporsional dan sesuai KEJ diyakini akan mampu memenuhi kebutuhan publik akan informasi atas kasus itu tanpa mengorbankan kebhinekaan bangsa ini," lanjutnyanya. AJI juga meminta media untuk menjadikan kepentingan publik dan bangsa sebagai pertimbangan utama, daripada soal faktor rating atau perolehan iklan yang bisa didapatkan dari pemberitaan kasus itu.

AJI meminta media berkaca pada siaran live sidang kasus Jessica Kemala Wongso, yang diadili karena diduga menjadi pembunuh Mirna Salihin dengan racun sianida. Siaran live sejumlah media penyiaran dalam kasus itu tidak semata berisi siaran jalannya sidang, tapi juga diimbuhi dengan pandangan atau komentar dari pengamat dan pihak luar.

Pemberitaan soal itu membuat media dikritik berat sebelah dan ada yang menudingnya sebagai trial by the press. "Kita harus berkaca dan introspeksi dari kritik publik itu," tambahnya. Revo juga mengingatkan, perilaku tidak patut yang dilakukan oknum media yang menomorsatukan rating, perolehan iklan, dan cenderung mengabaikan KEJ, akan mencoreng citra pers secara keseluruhan, dan mengancam kebebasan pers yang sedang dipertahankan.

Kasus yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama ini bermula dari sebuah pernyataannya di Kepulauan Seribu, 27 September 2016 lalu, yang dianggap penodaan agama Islam. Pria yang akrab disapa Ahok ini lantas ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Badan Reserse Kriminal Mabes Polri pada Rabu, 16 November 2016.

(A072/A029)