Forum LSM usulkan revisi UU Perpajakan dipercepat
Pengungkapan Kasus Korupsi Pajak Di Aceh. Kabid Humas Polda Aceh Kombes Pol Goenawan (kedua kanan) didampingi Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh AKBP Ridwan Usman (kedua kiri) dan petugas lainnya memperlihatkan barang bukti tindak kejahatan korupsi pajak berupa uang tunai senilai Rp4,18 miliar dan dokumen lainnya saat gelar kasus di Polda Aceh, Banda Aceh, Selasa (23/8/2016). Polda Aceh berhasil mengungkap kasus korupsi pajak yang bersumber dari PPH dan PPN di intansi Pemerintah Kabupaten Bireuen, Aceh yang tidak disetorkan ke kas negara sejak tahun 2007 hingga tahun 2010 senilai Rp 27,6 miliar, sementara barang bukti yang disita diantaranya uang tunai senilai Rp4,18 miliar, empat persil tanah sawah, satu persil kebun dari tersangka bendahara Pemkab Biruen Muslim Syammaun. (ANTARA/Ampelsa)
Siaran pers Forum Pajak Berkeadilan yang diterima di Jakarta, Jumat, menyebutkan, desakan revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan itu penting karena berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dinilai masih belum mampu menjawab persoalan di sektor perpajakan seperti minimnya rasio pajak.
Forum Pajak Berkeadilan terdiri atas Perkumpulan Prakarsa, ASPPUK, ICW (Indonesia Corruption Watch), IGJ (Indonesia for Global Justice), IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice), ILR (Indonesian Legal Roundtable), PWYP Indonesia, YLKI (Yayasan Layanan Konsumen Indonesia), INFID (International NGO Forum on Indonesian Development), dan TII (Transparency International Indonesia).
Menurut berbagai LSM itu, sejumlah permasalahan lainnya adalah maraknya korupsi pajak yang melibatkan sektor swasta, serta belum efektifnya penggunaan instrumen fiskal untuk mengatasi masalah ketimpangan ekonomi.
Untuk itu, Forum Pajak Berkeadilan juga mendesak pemerintah menerapkan manajemen antipenyuapan di seluruh entitas pemerintahan dan bisnis untuk mencegah korupsi di sektor perpajakan.
Pemerintah juga didesak untuk mengeluarkan aturan mengenai transparansi "beneficial ownership" untuk menghindari praktik penghindaran dan pengemplangan pajak, aliran uang haram, konflik kepentingan, dan keterlibatan aktor politik ilegal di sektor swasta.
Selain itu, perlu pula didorongnya implementasi aturan yang mengungkap informasi terperincipelaporan keuangan perusahaan internasional di level negara, serta fungsi kepatuhan melalui pengendalian internal lembaga publik termasuk Dirjen Pajak dan swasta.
Sistem "whistleblower" sebagai upaya untuk memperkuat kanal pelaporan masyarakat dan mempercepat proses penindakan berbagai kasus korupsi di sektor perpajakan dengan menjamin kerahasiaan bagi pelapor juga perlu dibangun.
Pemerintah perlu pula memperkuat basis data pajak dengan mengintegrasikan data wajib pajak dengan data penduduk, mempersiapkan sistem data yang kuat di sektor bisnis untuk mendukung penerapan dan pemanfaatan Automatic Exchange of Information yang mulai diterapkan di level global pada 2017, serta mendorong kerja sama antaryurisdiksi perpajakan global.
Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Mucharam mendorong untuk dilakukan terobosan perpajakan yang sungguh-sungguh guna menggali beragam sektor yang kurang tersentuh pajak dalam rangka meningkatkan penerimaan bagi negara.
"Pemerintah perlu secara serius dan tegas dalam menggali sektor-sektor yang masih under-tax," kata Ecky Awal Mucharam.
Menurut Ecky, pendapatan negara yang bersumber dari penerimaan perpajakan pada dasarnya masih jauh dari optimal.
Hal itu, ujar dia, terindikasi dari rasio pajak yang stagnan dan bahkan menurun beberapa tahun terakhir yang dinilai perlu menjadi perhatian serius.
Berdasarkan data Direktorat Perpajakan, jumlah wajib pajak yang terdaftar hanya sebesar 30,04 juta (2,4 juta WP Badan, 5,24 juta WP Pribadi Non-karyawan dan 22,4 juta WP Pribadi Karyawan).
Padahal, menurut data BPS, jumlah pekerja di Indonesia mencapai 93,72 juta, atau artinya hanya 29,4 persen yang terdaftar sebagai wajib pajak.
Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016