Hubungan ular, ibadah dan gempa di Aceh
9 Desember 2016 15:26 WIB
Santri melintas di antara puing kubah masjid Pasantren modern Ma'hadal Ulum Dinah Islamiyah (MUDI) yang runtuh akibat gempa di Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh, Kamis (8/12/2016). (ANTARA/Irwansyah Putra)
Meureudu, Aceh (ANTARA News) - Warga Aceh tidak asing dengan gempa bumi karena secara turun temurun dari orang tua dan nenek moyang mereka berkembang hikayat atau cerita rakyat mengenai gempa dan pesan Tuhan di balik gempa bumi serta fenomena alam, termasuk cerita mengenai ular besar.
"Hikayat yang saya ketahui soal adanya ular besar yang berada di hulu sungai. Jika gempa terjadi berarti ular itu bergerak," kata Sahrul Abdullah, Ketua Panitia Masjid Jami Nur Abdullah, Gampong Paruh Keudeu, Kabupaten Pidie Jaya, kepada Antara, Jumat.
Ia mengasosiasikan pergerakan ular dengan kondisi alam dan spiritualitas masyarakatnya. "Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini merupakan peringatan bagi manusia dalam beribadat," sambung Sahrul.
Sahrul punya teori yang tentu berbeda dengan pandangan ilmiah gempa, bahwa "saat ini mengapa masjid banyak yang rusak, berbeda dengan musibah gempa disertai tsunami pada 2004 di mana sedikit masjid yang rusak bahkan banyak yang masih kokoh berdiri".
Dia mendapati kenyataan berbeda antara kondisi yang menyelimuti gempa kali ini dengan gempa besar disertai tsunami pada 2004, yakni tiada lagi orang berbondong-bondong memakmurkan masjid.
"Dari nasihat orang tua dahulu, perbanyak kegiatan beragama dan penuhilah masjid-masjid yang ada. Faktanya sekarang, masjid tidak banyak ada kegiatan dan tidak dipenuhi oleh jamaahnya," kata Sahrul.
Sahrul melanjutkan, saat ini banyak sekali masjid yang sudah tidak mematuhi ulama atau orang tua dahulu mana yang "mensyaratkan' masjid jami hanya ada satu untuk satu kecamatan.
"Tapi sekarang setiap kecamatan biasa dua sampai tiga masjid," kata Sahrul.
Ulama dahulu mensyaratkan pembangunan masjid itu, yakni, bisa membangun masjid sampai suara adzan tidak terdengar lagi di satu daerah, pesantren hanya ada satu saja. Selain itu, pembangunan masjid harus sesuai hasil mufakat jemaah masjid dan jemaahnya mencukupi.
Setelah memenuhi syarat dari ulama atau tokoh adat itu, barulah sebuah masjid boleh dibangun. "Kenyataannya (sekarang ini) masjid berdekatan," katanya.
Bahkan, sambung Sahrul, dahulu hanya ada satu pesantren untuk satu kecamatan. "Sekarang satu kecamatan bisa ada satu sampai tiga pesantren".
Dia menutup bincang-bincang reflektif spiritual dengan Antara itu dengan kalimat, "Ini adalah peringatan dari Allah SWT kepada umatnya untuk instropeksi diri agar tidak sombong dan penuhilah kembali masjid-masjid yang ada."
Anda tak dituntut untuk bersetuju dengan pandangan Sahrul. Namun memang selalu ada pesan ilahiah di balik apa pun, termasuk bencana alam gempa bumi. Lagi pula ajakan Sahrul adalah sangat baik.
Namun seraca ilmiah, ada beberapa teori yang bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa gempa bumi di Aceh ini menciptakan kerusakan besar yang kemudian merenggut sekitar 100 nyawa.
Salah satu teori itu disampaikan oleh Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengenai mengapa gempa bumi dahsyat itu telah menyebabkan infrastruktur di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, rusak berat.
"Secara ukuran gempa sebenarnya termasuk menengah, namun ternyata dampak kerusakannya begitu besar. Kami menafsirkan ada tiga faktor yang menyebabkan hal tersebut yaitu kedangkalan gempa, struktur lapisan batuan dan konstruksi bangunan," kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Ego Syahrial di kantor BPSDM, Jakarta, Kamis.
Ego Syahrial mengatakan, untuk kedangkalan gempa, gerakan yang terjadi adalah pada permukaan paling luar sehingga dekat dengan lapisan tanah yang digunakan untuk menopang berbagai bangunan.
Kedua, adalah permasalahan lapisan batuan. Di daerah Kabupaten Pidie Jaya lapisan penyusunnya adalah batuan kuarter dan tersier di mana batuan ini memiliki sifat mudah lapuk dan mudah berguncang karena tidak mampu meredam getaran.
"Batuan yang lapuk itu, terkena getaran sedikit saja, akibatnya justru menjadi penghantar getaran tersebut, sehingga tidak mampu menahan banyak pergeseran dari lempeng tanah," kata Ego.
Ketiga, faktor struktur bangunan. Sebagian bangunan di Kabupaten Pidie Jaya tidak dirancang untuk tahan terhadap gempa. Jadi, bila terkena getaran bisa berakibat struktur bangunan rusak atau paling parah, roboh.
"Hikayat yang saya ketahui soal adanya ular besar yang berada di hulu sungai. Jika gempa terjadi berarti ular itu bergerak," kata Sahrul Abdullah, Ketua Panitia Masjid Jami Nur Abdullah, Gampong Paruh Keudeu, Kabupaten Pidie Jaya, kepada Antara, Jumat.
Ia mengasosiasikan pergerakan ular dengan kondisi alam dan spiritualitas masyarakatnya. "Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini merupakan peringatan bagi manusia dalam beribadat," sambung Sahrul.
Sahrul punya teori yang tentu berbeda dengan pandangan ilmiah gempa, bahwa "saat ini mengapa masjid banyak yang rusak, berbeda dengan musibah gempa disertai tsunami pada 2004 di mana sedikit masjid yang rusak bahkan banyak yang masih kokoh berdiri".
Dia mendapati kenyataan berbeda antara kondisi yang menyelimuti gempa kali ini dengan gempa besar disertai tsunami pada 2004, yakni tiada lagi orang berbondong-bondong memakmurkan masjid.
"Dari nasihat orang tua dahulu, perbanyak kegiatan beragama dan penuhilah masjid-masjid yang ada. Faktanya sekarang, masjid tidak banyak ada kegiatan dan tidak dipenuhi oleh jamaahnya," kata Sahrul.
Sahrul melanjutkan, saat ini banyak sekali masjid yang sudah tidak mematuhi ulama atau orang tua dahulu mana yang "mensyaratkan' masjid jami hanya ada satu untuk satu kecamatan.
"Tapi sekarang setiap kecamatan biasa dua sampai tiga masjid," kata Sahrul.
Ulama dahulu mensyaratkan pembangunan masjid itu, yakni, bisa membangun masjid sampai suara adzan tidak terdengar lagi di satu daerah, pesantren hanya ada satu saja. Selain itu, pembangunan masjid harus sesuai hasil mufakat jemaah masjid dan jemaahnya mencukupi.
Setelah memenuhi syarat dari ulama atau tokoh adat itu, barulah sebuah masjid boleh dibangun. "Kenyataannya (sekarang ini) masjid berdekatan," katanya.
Bahkan, sambung Sahrul, dahulu hanya ada satu pesantren untuk satu kecamatan. "Sekarang satu kecamatan bisa ada satu sampai tiga pesantren".
Dia menutup bincang-bincang reflektif spiritual dengan Antara itu dengan kalimat, "Ini adalah peringatan dari Allah SWT kepada umatnya untuk instropeksi diri agar tidak sombong dan penuhilah kembali masjid-masjid yang ada."
Anda tak dituntut untuk bersetuju dengan pandangan Sahrul. Namun memang selalu ada pesan ilahiah di balik apa pun, termasuk bencana alam gempa bumi. Lagi pula ajakan Sahrul adalah sangat baik.
Namun seraca ilmiah, ada beberapa teori yang bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa gempa bumi di Aceh ini menciptakan kerusakan besar yang kemudian merenggut sekitar 100 nyawa.
Salah satu teori itu disampaikan oleh Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengenai mengapa gempa bumi dahsyat itu telah menyebabkan infrastruktur di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, rusak berat.
"Secara ukuran gempa sebenarnya termasuk menengah, namun ternyata dampak kerusakannya begitu besar. Kami menafsirkan ada tiga faktor yang menyebabkan hal tersebut yaitu kedangkalan gempa, struktur lapisan batuan dan konstruksi bangunan," kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Ego Syahrial di kantor BPSDM, Jakarta, Kamis.
Ego Syahrial mengatakan, untuk kedangkalan gempa, gerakan yang terjadi adalah pada permukaan paling luar sehingga dekat dengan lapisan tanah yang digunakan untuk menopang berbagai bangunan.
Kedua, adalah permasalahan lapisan batuan. Di daerah Kabupaten Pidie Jaya lapisan penyusunnya adalah batuan kuarter dan tersier di mana batuan ini memiliki sifat mudah lapuk dan mudah berguncang karena tidak mampu meredam getaran.
"Batuan yang lapuk itu, terkena getaran sedikit saja, akibatnya justru menjadi penghantar getaran tersebut, sehingga tidak mampu menahan banyak pergeseran dari lempeng tanah," kata Ego.
Ketiga, faktor struktur bangunan. Sebagian bangunan di Kabupaten Pidie Jaya tidak dirancang untuk tahan terhadap gempa. Jadi, bila terkena getaran bisa berakibat struktur bangunan rusak atau paling parah, roboh.
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016
Tags: