Hakim perintahkan pengembalian harta Edy Nasution
Sidang Tuntutan Edy Nasution Terdakwa perkara suap pengurusan perdata Lippo Group di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung sekaligus Mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution berjalan usai menjalani sidang dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (21/11/2016). Jaksa penuntut umum menuntut Edy Nasution hukuman selama 8 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 5 bulan dalam perkara suap pengurusan perdata Lippo Group di PN Pusat. (ANTARA/Reno Esnir) ()
"Memerintahkan uang 3.000 dolar AS, uang 1.800 dolar Singapura dan Rp2,3 juta, 1 unit mobil CRV B 1077 TLB atas nama Ikra Pratiwi, paspor atas nama Edy Nasution sebanyak 2 buah, 1 handphone Iphone Gold, Nokia E90, dikembalikan kepada terdakwa," kata ketua majelis hakim Sumpeno di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Hal itu sesuai dengan permintaan Edy Nasution dalam pledoinya (nota pembelaan).
"Pembelaan terkait uang 3.000 dolar AS, 1.800 dolar Singapura dan Rp2,3 juta karena tidak terkait dengan objek OTT dan jumlahnya relatif kecil lagi pula terdakwa masih punya tanggungan anak yang masih sekolah dan tidak ada penghasilan lain selain sebagai PNS sehingga menurut majelis pantas dan adil barang bukti tersebut dikembalikan kepada terdakwa. Mobil CRV B 1077 TL atas nama Ika Pratiwi di samping digunakan untuk transprotasi sehari-hari lagipula pemeriksaan perkara ini sedah selesai maka wajar dan adil barang bukti tersebut dikembalikan ke anak terdakwa Ika Pratiwi melalui terdakwa," kata anggota majelis hakim Yohanes Priyana.
Majelis hakim yang terdiri atas Sumpeno, Yohanes Priyana, Sinung Hermawan, Sigit dan Tuti memvonis Edy Nasution dengan hukuman 5,5 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan. Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yaitu 8 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 5 bulan kurungan.
Hakim juga hanya menilai Edy terbukti menerima uang Rp100 juta untuk penundaan teguran (aanmaning) perkara niaga terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP), 50 ribu dolar AS untuk pengurusan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) yang diputus pailit oleh mahkamah agung melawan PT First Media dan uang Rp50 juta untuk pengurusan perkara lain Lippo Grup.
Tapi hakim tidak setuju bahwa Edy menerima Rp1,5 miliar untuk merevisi penolakan permohonan eksekusi tanah PT Jakarta Baru Cosmopolitan (JBC).
Atas putusan itu, JPU KPK masih mempertimbangkannya.
"Yang penting tugas kami membuktikan bahwa dia (Edy Nasution) benar menerima uang. Uang Rp1,5 miliar memang tidak ada saksi langsung yang menyatakan soal itu. Permintaan dari data komunikasi memang ada, tapi penyerahannya memang tidak ada saksi yang melihat," kata JPU KPK Dzakiyul Fikri.
Pertimbangan untuk menerima atau mengajukan banding juga terkait dengan pengembalian barang bukti yang diminta oleh majelis hakim.
"(Pengembalian) itu putusan hakim, kita harus pertimbangkan lagi kira-kira apa kita terima atau upaya lebih lanjut untuk masalah barang bukti," tambah Dzakiyul.
Putusan itu juga tidak mengungkapkan peran Nurhadi yang disebutkan jaksa dalam surat tuntutan dan dakwaan.
"(Peran Nurhadi) ada di data komunikasi, tapi tampilan transkrip rekaman percakapan tidak ada, hanya putusan ini bisa jadi salah satu dasar kita untuk menindaklanjuti," kata Dzakiyul.
(D017/E001)
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016