Oleh Eko Listiyorini Jakarta (ANTARA News) - Hampir satu tahun berlalu sejak pertama kali gas H2S (Hidrogen Sulfide) yang berbau menyengat menguar dari kawasan penambangan (Sumur Banjar Panji 1) milik PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, 29 Mei 2006. Ketika itu, Sekolah Dasar Negeri (SDN) Siring I dan II terpaksa diliburkan, karena dikhawatirkan akan bahaya terhirupnya gas H2S. Sepekan kemudian, bukan hanya gas yang keluar dari lokasi bocoran gas di kawasan penambangan milik PT Lapindo namun lumpur bercampur air yang panas. Penduduk empat Desa di Kecamatan Porong dan Tanggulangin pun mengungsi. Sejak itu, luapan lumpur masih terus meluap dan meluas wilayah genangannya bukan hanya sawah dan pemukiman penduduk di sekitarnya. Jalan tol dan rel kereta pun tergenang lumpur hingga mengganggu lalu lintas kendaraan yang melaluinya. Akibatnya, bukan hanya pergerakan orang yang terhambat namun juga barang termasuk kegiatan ekspor impor. Fasilitas dan infrastruktur milik PLN dan PT Telkom juga mengalami kerusakan akibat pengaruh luapan lumpur Lapindo. Lumpur juga menggenangi pabrik dan menyebabkan buruh pabrik tersebut kehilangan pekerjaan dan pemilik pabrik harus merelokasi pabriknya. Bahkan, omzet penjualan industri kecil dan menengah (IKM) di Sentra Industri Kulit Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, anjlok antara 60 sampai 70 persen akibat berkurangnya pengunjung dan pembeli yang masuk ke sentra itu. Penurunan pengunjung dan pembeli ke Sentra Industri Kulit Tanggulangin itu disebabkan kesan bahwa Tanggulangin juga terkena lumpur setelah sebagian perumahan (Perum Tangulangin Sejahtera) dilanda lumpur. Padahal, sentra industri kulit Tanggulangin itu jauh dari luapan lumpur Lapindo. Direktur Regional II Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suprayoga Hadi, menyebutkan bahwa kajian kerugian total yang ditimbulkan akibat lumpur Lapindo mencapai Rp27,4 triliun selama sembilan bulan terakhir (29 Mei 2006 - 8 Maret 2007), yang terdiri atas kerugian langsung sebesar Rp11,0 triliun dan kerugian tidak langsung Rp16,4 triliun. Laporan awal penilaian kerusakan dan kerugian akibat bencana semburan lumpur panas di Sidoarjo menyebutkan angka kerugian itu berpotensi meningkat menjadi Rp44,7 triliun, akibat potensi kenaikan kerugian dampak tidak langsung menjadi Rp33,7 triliun, jika terus berlangsung dalam jangka panjang. Sedangkan, angka kerusakan langsung selama sembilan bulan sebenarnya mencapai Rp7,3 triliun, namun ada tambahan perkiraan biaya relokasi infrastruktur utama yang mencapai Rp3,7 triliun sehingga total kerusakan dan kerugian langsung menjadi Rp11,0 triliun. Nilai kerugian tersebut Rp11 triliun itu termasuk kebutuhan untuk relokasi jalan tol, relokasi arteri, relokasi rel kereta api, penyediaan lahan, pembuatan kanal ke laut, biaya operasional, pembangunan jaringan gas, desain relokasi, pengaliran ke Sungai Porong, pembangunan tanggul, kerugian sosial, rumah, tanah. Sementara itu, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Soetarto Alimoeso mengatakan area pertanian di Sidoarjo, Jawa Timur, yang terkena luapan lumpur Lapindo seluas 417 hektare. Menurut Soetarto, dalam dua hingga dua setengah masa tanam, kehilangan produksi pertanian setara dengan 1.000 hektare. Apabila dihitung dengan rata-rata produksi 4 ton per hektare, dengan harga gabah Rp 2.000 per kilogram, kerugian yang diderita petani minimal Rp 8 miliar. Sebanyak 23 orang pengusaha yang terhimpun dalam Gabungan Pengusaha Korban Luapan Lumpur (GPKLL) mengadu ke Komisi B DPRD Jatim di Surabaya, Senin, karena hingga saat ini mereka belum mendapatkan kepastian pembayaran ganti rugi yang telah disepakati dengan Lapindo Brantas inc. Ke-23 pabrik yang menjadi korban luapan Lumpur masing-masing satu pabrik di Desa Siring, sembilan pabrik di Desa Jatirejo, sembilan pabrik di Desa Renokenongo, empat pabrik di Desa Kedungbendo, dengan jumlah pekerja 1.726 orang, jumlah kerugian mencapai Rp424 miliar lebih. Sedangkan, berdasarkan inventarisasi sementara, eksportir di Jatim harus mengeluarkan biaya tambahan yang cukup besar. Dampak luberan lumpur di jalan tol Gempol-Surabaya dari PT Lapindo Brantas Inc di Desa Siring, Sidoarjo, menyebabkan keterlambatan pengiriman barang antara 4-5 jam dari jadwal semestinya. Biaya tambahan tersebut meliputi biaya tambahan transportasi, biaya relokasi, biaya tambahan transportasi bahan baku eks impor dan tambahan biaya kemungkinan sesudah "closing time" ditarik oleh operator terminal kontainer. Atas keterlambatan akibat luberan lumpur di jalan tol, perusahaan pengangkutan umumnya minta tambahan biaya sebesar Rp250 ribu perkontainer dari tarif normal, atau antara Rp1.000.000 hingga Rp1.500.000 perkontainer, tergantung lokasi. Sementara itu, apabila masih memungkinkan untuk dimuat oleh pihak pelayaran meskipun sudah mengalami keterlambatan (closing time), eksportir dikenakan biaya tambahan sebesar Rp750 ribu untuk kontainer 20 feet dan Rp1.500.000 untuk kontainer 40 feet oleh operator terminal kontianer. Dengan demikian, Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jatim, Isdarmawan Asrikan memperkirakan biaya yang harus ditanggung eksportir yang melalui jalan tol Gempol-Surabaya sekitar Rp1 miliar. Oleh karena itu, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristianto, menilai bahwa kasus lumpur dari proyek Lapindo harus dituntaskan dengan segera karena hal tersebut akan mengancam perekonomian tidak hanya di Jawa Timur tetapi hingga taraf nasional. "Lumpur Lapindo, yang menyebabkan rusaknya infrastruktur di Sidoarjo, telah membuat perekonomian di Jawa Timur turun sekitar 1,3 persen," katanya. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Sofyan Wanandi, secara terpisah mendesak DPR untuk segera menyetujui penggunaan APBN untuk pembayaran ganti rugi, agar rakyat tidak semakin menderita dan roda perekonomian Jawa Timur kembali normal. "Pemerintah harus selesaikan cepat karena ini sudah 11 bulan, kasihan rakyat itu. Urusan pemerintah sama Lapindo itu yang diselesaikan (nanti) tapi pemerintah mesti ambil oper dulu (penyelesaian). Kan kasihan mereka tidak ada kepastian," ujarnya. Ia mengingatkan semakin lama masalah lumpur Lapindo tidak diselesaikan akan semakin menyulitkan untuk warga Sidoarjo. Sebagai provinsi yang selalu memberi kontribusi besar pada perekonomian nasional, dampak lumpur itu juga akan mempengaruhi Indonesia secara keseluruhan. "Saya pikir pertumbuhan Jatim turun sekitar dua persen, kontribusinya ke GDP itu besar. Sudah makin hari makin susah, ekspornya terganggu, kita tidak pernah hitung efek multiplier-nya,"tambahnya. Sofyan kembali mengingatkan, investasi di Jawa Timur akan turun sekali mengingat kerusakan infrastruktur yang parah dan luas. "Lapangan golf sudah pada tutup, Tretes itu sudah tutup (tempat wisata).Semua gerakan ekonominya untuk usaha kecil sudah mati selama sembilan bulan ini. Kasus ini mesti diselesaikan secepatnya," tegasnya. Meski dalam catatan realisasi dan persetujuan investasi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) triwulan pertama 2007 Jawa Timur masih menduduki peringkat lima besar, namun hal itu agaknya bukanlah alasan untuk berdalih melupakan penderitaan rakyat korban luapan lumpur di Sidoarjo. (*)