CII: Owa Jawa terancam punah
25 November 2016 17:41 WIB
Seekor Owa Jawa (Hylobates moloch) bergelantungan di pepohonan di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Jawa Barat, Selasa (24/11/2015). Yayasan Owa Jawa menyebutkan hingga kini terdapat sekitar 400-500 ekor Owa Jawa yang hidup liar dan bebas di TNGGP. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Jakarta (ANTARA News) - Conservation International (CI) Indonesia menyatakan Owa Jawa terancam punah akibat perdagangan ilegal hingga jumlah populasinya di hutan tinggal 5.000 ekor.
West Java Program Manager CI Indonesia, Anton Ario dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat mengatakan memburu satu anak atau bayi Owa Jawa untuk diperjualbelikan sebagai hewan peliharaan, sama halnya dengan membunuh satu keluarga Owa Jawa.
"Untuk memburu bayi Owa Jawa, pemburu akan membunuh induk tersebut. Sedangkan ayah Owa Jawa yang kehilangan anak dan pasangannya, umumnya akan depresi dan kemudian mati," katanya.
Owa Jawa atau "hylobates moloch" hidup di wilayah barat Pulau Jawa terutama di hutan-hutan di wilayah Banten, Jawa Barat hingga Pegunungan Dieng Jawa Tengah.
Ia juga menyatakan bahwa menjadikan Owa Jawa sebagai hewan peliharaan bukan merupakan bentuk rasa sayang binatang karena dengan begitu mereka tidak dapat hidup pada habitatnya di hutan.
"Hal tersebut juga meniadakan perannya sebagai indikator penting kesehatan hutan," ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa ada beberapa karakteristik Owa Jawa yang mirip seperti manusia antara lain berkeluarga dan tinggal menetap pada satu lokasi sebagai rumah. Selain itu, Owa Jawa juga bersifat monogami dan sangat setia.
Ia menyatakan melalui Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center/JGC) yang dibentuk pada 2003, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Yayasan Owa Jawa, Universitas Indonesia, dan CI Indonesia bekerja sama mendukung pelestarian Owa Jawa, khususnya pada kegiatan penyadartahuan dan upaya rehabilitasi sebelum melepaskan Owa Jawa ke alam liar.
Sementara itu, Pristiani Nurantika, dokter hewan dari Yayasan Owa Jawa menyampaikan bahwa upaya rehabilitasi Owa Jawa sebelum dilepasliarkan perlu didampingi dengan intensif.
"Mulai dari perawatan kesehatan dan penyembuhan penyakit bila ada, rehabilitasi mengembalikan perilaku alami Owa Jawa agar bisa bertahan hidup di alam liar, sampai mempertemukan dengan pasangan sehingga mereka bisa berpasangan saat dilepaskan ke hutan," tuturnya.
Sejak 2013, kata dia, Yayasan Owa Jawa telah melepasliarkan 13 individu (3 pasang dan 2 keluarga Owa Jawa), 3 individu anakan Owa Jawa yang lahir di JGC juga turut dilepasliarkan bersama induk mereka.
"Umumnya satu individu perlu waktu rehabilitasi selama 5 tahun tergantung kemampuan peningkatan perilaku dan kesehatan setiap individu dengan biaya perbulan untuk seluruh kebutuhan mereka sekitar Rp1.500.000 perindividu Owa Jawa," ujarnya.
Menurutnya, saat ini ada 20 individu Owa Jawa yang sedang direhabilitasi di JGC, mayoritas adalah hewan peliharaan dari masyarakat yang tinggal di Jakarta, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Banten, Bandung, dan Ciamis.
Pristiani menyampaikan harapan agar masyarakat menyadari peran penting spesies ini di hutan, serta berperan aktif melaporkan bila mendapati masyarakat yang masih memelihara atau perdagangan ilegal Owa Jawa.
"Nomor hotline Yayasan Owa Jawa di 0251-8224963 atau e-mail: jgc_owajawa@yahoo.com terbuka bagi siapa saja yang ingin melaporkan kasus perdagangan ilegal atau untuk mengembalikan Owa Jawa ke habitat alaminya di hutan. Pelestarian spesies ini pada ujungnya akan bermanfaat bagi kehidupan kita semua," ucap Pristiani.
CI Indonesia mencatat melalui berbagai penelitian mengenai jumlah Owa Jawa diperkirakan jumlah populasi yang tersisa di hutan Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah berada pada kisaran 3.000 hingga 5.304 ekor.
Angka tersebut sepintas besar, namun satuan terkecil untuk Owa Jawabukan lah individu melainkan satu keluarga, di mana dalam satu keluarga Owa Jawa terdapat 3-5 individu yang terdiri sepasang induk serta 2-3 anak.
Sistem keluarga, monogami dan teritorial itu lah yang menjadikan Owa Jawa rentan akan kepunahan.
Sebagai primata pemakan buah, Owa Jawa berperan membantu penyebaran benih tumbuhan melalui kotoran mereka, yang kemudian tumbuh dalam proses pelestarian hutan secara alami.
Secara nasional, spesies ini dilindungi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
West Java Program Manager CI Indonesia, Anton Ario dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat mengatakan memburu satu anak atau bayi Owa Jawa untuk diperjualbelikan sebagai hewan peliharaan, sama halnya dengan membunuh satu keluarga Owa Jawa.
"Untuk memburu bayi Owa Jawa, pemburu akan membunuh induk tersebut. Sedangkan ayah Owa Jawa yang kehilangan anak dan pasangannya, umumnya akan depresi dan kemudian mati," katanya.
Owa Jawa atau "hylobates moloch" hidup di wilayah barat Pulau Jawa terutama di hutan-hutan di wilayah Banten, Jawa Barat hingga Pegunungan Dieng Jawa Tengah.
Ia juga menyatakan bahwa menjadikan Owa Jawa sebagai hewan peliharaan bukan merupakan bentuk rasa sayang binatang karena dengan begitu mereka tidak dapat hidup pada habitatnya di hutan.
"Hal tersebut juga meniadakan perannya sebagai indikator penting kesehatan hutan," ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa ada beberapa karakteristik Owa Jawa yang mirip seperti manusia antara lain berkeluarga dan tinggal menetap pada satu lokasi sebagai rumah. Selain itu, Owa Jawa juga bersifat monogami dan sangat setia.
Ia menyatakan melalui Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center/JGC) yang dibentuk pada 2003, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Yayasan Owa Jawa, Universitas Indonesia, dan CI Indonesia bekerja sama mendukung pelestarian Owa Jawa, khususnya pada kegiatan penyadartahuan dan upaya rehabilitasi sebelum melepaskan Owa Jawa ke alam liar.
Sementara itu, Pristiani Nurantika, dokter hewan dari Yayasan Owa Jawa menyampaikan bahwa upaya rehabilitasi Owa Jawa sebelum dilepasliarkan perlu didampingi dengan intensif.
"Mulai dari perawatan kesehatan dan penyembuhan penyakit bila ada, rehabilitasi mengembalikan perilaku alami Owa Jawa agar bisa bertahan hidup di alam liar, sampai mempertemukan dengan pasangan sehingga mereka bisa berpasangan saat dilepaskan ke hutan," tuturnya.
Sejak 2013, kata dia, Yayasan Owa Jawa telah melepasliarkan 13 individu (3 pasang dan 2 keluarga Owa Jawa), 3 individu anakan Owa Jawa yang lahir di JGC juga turut dilepasliarkan bersama induk mereka.
"Umumnya satu individu perlu waktu rehabilitasi selama 5 tahun tergantung kemampuan peningkatan perilaku dan kesehatan setiap individu dengan biaya perbulan untuk seluruh kebutuhan mereka sekitar Rp1.500.000 perindividu Owa Jawa," ujarnya.
Menurutnya, saat ini ada 20 individu Owa Jawa yang sedang direhabilitasi di JGC, mayoritas adalah hewan peliharaan dari masyarakat yang tinggal di Jakarta, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Banten, Bandung, dan Ciamis.
Pristiani menyampaikan harapan agar masyarakat menyadari peran penting spesies ini di hutan, serta berperan aktif melaporkan bila mendapati masyarakat yang masih memelihara atau perdagangan ilegal Owa Jawa.
"Nomor hotline Yayasan Owa Jawa di 0251-8224963 atau e-mail: jgc_owajawa@yahoo.com terbuka bagi siapa saja yang ingin melaporkan kasus perdagangan ilegal atau untuk mengembalikan Owa Jawa ke habitat alaminya di hutan. Pelestarian spesies ini pada ujungnya akan bermanfaat bagi kehidupan kita semua," ucap Pristiani.
CI Indonesia mencatat melalui berbagai penelitian mengenai jumlah Owa Jawa diperkirakan jumlah populasi yang tersisa di hutan Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah berada pada kisaran 3.000 hingga 5.304 ekor.
Angka tersebut sepintas besar, namun satuan terkecil untuk Owa Jawabukan lah individu melainkan satu keluarga, di mana dalam satu keluarga Owa Jawa terdapat 3-5 individu yang terdiri sepasang induk serta 2-3 anak.
Sistem keluarga, monogami dan teritorial itu lah yang menjadikan Owa Jawa rentan akan kepunahan.
Sebagai primata pemakan buah, Owa Jawa berperan membantu penyebaran benih tumbuhan melalui kotoran mereka, yang kemudian tumbuh dalam proses pelestarian hutan secara alami.
Secara nasional, spesies ini dilindungi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016
Tags: