Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia memproyeksikan produksi crude palm oil (CPO) akan naik pada 2017 jika dibandingkan dengan 2016 yang diperkirakan kurang lebih sebanyak 30 juta ton.

Ketua Umum Gapki Joko Supriyono dalam jumpa pers The 12th Indonesian Palm Oil Conference and 2017 Price Outlook di Nusa Dua, Bali, Kamis, menyatakan bahwa kenaikan produksi CPO 2017 dipengaruhi kondisi cuaca akibat La Nina pada 2016.

Namun, ia masih belum bisa memproyeksikan berapa besar kenaikan jumlah produksi tersebut.

"Tahun 2017 tidak ada yang tahu persis berapa produksi. Tapi faktor La Nina tahun ini akan berdampak positif pada produksi tahun depan. Diharapkan akan naik produksinya, naik akan bagus," kata Joko.

Berdasarkan data dari Gapki, produksi CPO pada 2016 diproyeksikan menurun jika dibanding tahun sebelumnya. Tercatat, pada 2014 produksi CPO nasional mencapai 31,5 juta ton, dan naik menjadi 32,5 juta ton pada 2015. Pada 2017 produksi diproyeksi naik.

Dengan proyeksi jumlah produksi CPO dalam negeri meningkat, maka akan ada permasalahan lain yang harus dihadapi. Peningkatan tersebut akan mengakibatkan kelebihan pasokan terhadap permintaan dunia yang akan berdampak pada harga komoditas unggulan Indonesia itu.

Namun, menurut Joko, untuk di Indonesia sendiri kondisi akibat adanya kelebihan pasok tersebut tidak terlalu mengkhawatirkan. Pemerintah memiliki program B20, yang mewajibkan bauran minyak nabati dengan bahan bakar solar sebesar 20 persen.

"Indonesia akan tetap baik-baik saja, karena kita punya program yang fleksibel untuk biodiesel. Bahkan bisa naik sampai B30," kata Joko.

Tercatat, harga rata-rata CPO pada 2016 mengalami fluktuasi. Pada Januari, rata-rata harga berada pada titik terendah yakni 557,2 dolar Amerika Serikat (AS) per metrik ton. Sementara pada bulan selanjutnya mengalami kenaikan menjadi 628,9 dolar AS per metrik ton.

Kenaikan paling tinggi selama periode Januari-Oktober 2016 terjadi pada September yang menyentuh harga 768,6 dolar AS per metrik ton. Namun, kembali menurun pada Oktober menjadi 722,0 dolar AS per metrik ton.