Indonesia negara tercepat dalam penyebaran HIV di Asia
23 November 2016 17:22 WIB
Peringatan Hari AIDS Di Palu. Sejumlah aktivis dari berbagai elemen membawa poster saat melakukan aksi damai dalam rangka memperingati Hari AIDS Sedunia di Anjungan Pantai Teluk Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (1/12/2015). Aksi tersebut dalam rangka mengkampanyekan perang terhadap seks bebas dan mengajak generasi muda untuk berbuat yang positif serta menghentikan segala bentuk diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS. (ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)
Yogyakarta (ANTARA News) - Indonesia tercatat sebagai negara dengan penyebaran infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tercepat di Asia, sementara jumlah kasus HIV di dunia mencapai angka sekitar 34 juta orang.
"Data Epidemic Update mencatat, penderita Aquaired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), di Indonesia terjangkit dengan tingkat penyebaran HIV tercepat di Asia," kata Dosen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Departemen Dermatologi dan Venerologi, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Angela Satiti Retno Pudjiati dalam ujian terbuka Program Doktor Ilmu Kesehatan dan Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM, di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, penyakit infeksi HIV dan AIDS saat ini sudah menjadi pandemi global yang menimbulkan dampak kesehatan, sosial, ekonomi dan politik.
Ia mengatakan, dari 34 juta orang yang terkena kasus HIV di dunia, lebih dari 95 persen yang terinfeksi HIV menyebabkan kematian dan terjadi di negara berkembang.
Hal ini, disebabkan kondisi sosial, kemiskinan dan kurangnya pelayanan kesehatan, katanya.
"Untuk itu, pasien immunocompromised karena infeksi HIV membutuhkan terapi antiretrovial (ARV) sepanjang hidupnya. Sementara pada era dimulainya terapi HIV dengan obat ARV, problem utama yang dihadapi adalah reaksi alergi terhadap obat," jelas dia.
Angela menuturkan, reaksi alergi terhadap obat 100 kali lebih sering dijumpai pada pasien terinfeksi HIV, dibandingkan populasi umum akibat pemberian obat ARV. Sementara itu, obat ARV yang paling sering menyebabkan reaksi alergi adalah nevirapine.
Ia menambahkan, manifestasi klinis alergi obat pun bervariasi, dari yang ringan seperti eksantema kulit (rash) hingga manifestasi berat berupa sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) dan sering juga melibatkan organ ekstrakutan seperti hepar, ginjal dan sumsung tulang yang menyebabkan kematian, sehingga seringkali obat harus dihentikan.
Beberapa faktor genetik dan non-genetik, menurut Angela, dapat memodifikasi aksi obat sehingga tanggapan pada individu yang berbeda terhadap obat tertentu sangat bervariasi.
"Data Epidemic Update mencatat, penderita Aquaired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), di Indonesia terjangkit dengan tingkat penyebaran HIV tercepat di Asia," kata Dosen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Departemen Dermatologi dan Venerologi, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Angela Satiti Retno Pudjiati dalam ujian terbuka Program Doktor Ilmu Kesehatan dan Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM, di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, penyakit infeksi HIV dan AIDS saat ini sudah menjadi pandemi global yang menimbulkan dampak kesehatan, sosial, ekonomi dan politik.
Ia mengatakan, dari 34 juta orang yang terkena kasus HIV di dunia, lebih dari 95 persen yang terinfeksi HIV menyebabkan kematian dan terjadi di negara berkembang.
Hal ini, disebabkan kondisi sosial, kemiskinan dan kurangnya pelayanan kesehatan, katanya.
"Untuk itu, pasien immunocompromised karena infeksi HIV membutuhkan terapi antiretrovial (ARV) sepanjang hidupnya. Sementara pada era dimulainya terapi HIV dengan obat ARV, problem utama yang dihadapi adalah reaksi alergi terhadap obat," jelas dia.
Angela menuturkan, reaksi alergi terhadap obat 100 kali lebih sering dijumpai pada pasien terinfeksi HIV, dibandingkan populasi umum akibat pemberian obat ARV. Sementara itu, obat ARV yang paling sering menyebabkan reaksi alergi adalah nevirapine.
Ia menambahkan, manifestasi klinis alergi obat pun bervariasi, dari yang ringan seperti eksantema kulit (rash) hingga manifestasi berat berupa sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) dan sering juga melibatkan organ ekstrakutan seperti hepar, ginjal dan sumsung tulang yang menyebabkan kematian, sehingga seringkali obat harus dihentikan.
Beberapa faktor genetik dan non-genetik, menurut Angela, dapat memodifikasi aksi obat sehingga tanggapan pada individu yang berbeda terhadap obat tertentu sangat bervariasi.
Pewarta: RH Napitupulu
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016
Tags: