Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pihaknya akan memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mendalami kasus seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditangkap tangan oleh KPK.

"Kami Kementerian Keuangan dan saya sendiri akan mendukung langkah KPK untuk mengusut kasus ini secara tuntas. Kasus ini sedang masuk dalam proses penegakan hukum. Oleh karena itu, kami beri akses seluas-luasnya pada KPK untuk mendalami kasus ini," kata Menkeu saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa.

Menkeu menginginkan bahwa momentum Operasi Tangkap Tangan (OTT) ini akan menjadi salah satu pemicu dalam "pembersihan" korupsi di Direktorat Jenderal Pajak.

"Kalau kami selama ini berkomunikasi melalui Tax Amnesty karena kami ingin membangun kepercayaan publik, maka kami menganggap bahwa hikmah dari OTT ini bagian dari upaya yang sistematis dan kredibel membangun perpajakan yang bersih dari korupsi dan miliki nilai integritas yang baik," tuturnya.

Pihaknya juga akan bekerja sama dengan KPK untuk mengintensifkan berbagai upaya pencegahan korupsi dan perbaikan sistem yang tidak hanya di Ditjen Pajak tetapi di Kemenkeu secara keseluruhan.

"Saya menganggap Kemenkeu lembaga yang sangat strategis dan penting untuk mengelola keuangan negara secara bersih dan kredibel. Jadi, tidak mungkin dilakukan secara sendiri tanpa ada bantuan dan dukungan institusi yang kredibel seperti KPK," ucap Menkeu.

Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan kronolgi Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada Senin (21/11) malam.

"KPK menggelar OTT terhadap dua orang pada Senin (21/11) di daerah Kemayoran, Jakarta. Kedua orang tersebut adalah R. Rajamohanan Nair (RRN), Direktur PT EK Prima Ekspor Indonesia (EKP) dan Handang Soekarno (HS), Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak," kata Agus.

Turut juga diamankan tiga staf RRN, masing-masing di Tangerang Selatan, Jakarta, dan Surabaya serta satu sopir dan ajudan HS.

Pada Senin (21/11), pukul 20.00 WIB terjadi penyerahan uang dari RRN ke HS di kediaman RRN di Springhill Residences, Kemayoran.

"Seusai penyerahan, penyidik mengamankan HS beserta supir dan ajudan pada pukul 20.30 WIB saat keluar dari kediaman RRN. Dari lokasi diamankan uang sejumlah 148.500 dolar AS atau setara Rp1,9 miliar," kata Agus.

Setelah itu, penyidik menuju kediaman RRN untuk mengamankan RRN untuk kemudian membawa keduanya untuk dilakukan pemeriksaan.

"Dua staf RRN diamankan di kediaman masing-masing di daerah Pamulang, Tangerang Selatan dan Pulomas, Jakarta Timur. Selain itu penyidik juga mengamankan staf lainnya di Surabaya," tuturnya.

Agus menyatakan uang tersebut diduga terkait dengan sejumlah permasalahan pajak yang dihadapi PT EKP antara lain terkait dengan Surat Tagihan Pajak (STP) sebesar Rp78 miliar.

"Setelah melakukan pemeriksaan 1x24 jam pasca penangkapan, KPK melakukan gelar perkara antara pimpinan dan seluruh penyidik, dan memutuskan meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan sejalan dengan penetapan dua orang sebagai tersangka.

Sebagai pemberi, RRN disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi .

Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Sebagai penerima, HS disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.