Jakarta (ANTARA News) - Salah satu kunci dari maju tidaknya sebuah negara, tak dapat dipungkiri, bergantung dari kondisi infrastrukturnya.

Infrastruktur yang memadai tentu saja menjadi harapan setiap penduduk di sebuah negara, termasuk Tanah Air kita.

Bahkan, negeri-negeri terdahulu di belahan dunia ini keberadaannya justru dikenal karena peninggalan infrastrukturnya, termasuk di Indonesia.

Sebut saja beberapa kerajaan pendiri Indonesia di nusantara. Kerajaan Majapahit, misalnya, dikenal karena sisa-sisa peninggalannya berupa infrastruktur seperti pintu gerbang bentar kerajaan, sistem irigasi sederhana, tempat pemandian dan lainnya yang bisa ditemui di situs Trowulan Mojokerto dan beberapa infrastruktur candi di sejumlah tempat di Kediri, Jawa Timur.

Demikian juga, beberapa negeri lain di dunia seperti peninggalan infrastruktur megah, bekas kerajaan Romawi zaman lampau bisa ditemui di Roma (Italia).

Ketika sebuah negara melakukan penjajahan kepada negara lain dalam jangka waktu cukup lama, juga bisa dikenali melalui beberapa infrastruktur seperti rel kereta api, bendungan dan lainnya. Lihatlah berapa banyak infrastruktur peninggalan Belanda di Indonesia.

Negeri berpenduduk hampir 260 juta jiwa ini pun per tahunnya tidak kurang hampir Rp150 triliun anggarannya untuk membangun infrastruktur mulai dari jalan dan jembatan, irigasi, bendungan dan lainnya.

Itu belum termasuk untuk membangun infrastruktur lain seperti pembangkit listrik, pelabuhan dan bandara serta infrastruktur lain.

Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional selama 2014-2019 diperlukan anggaran untuk infrastruktur sekitar Rp5.000 triliun, sementara kemampuan APBN hanya sekitar Rp600 triliun.

Artinya, masih terdapat kekurangan pendanaan yang begitu besar untuk kecukupan infrastruktur itu.

Para pengamat dan pelaku ekonomi di dunia sudah jamak menggunakan tiga kata kunci untuk menggambarkan daya saing sebuah negara. Tiga hal itu adalah kondisi infrastruktur, kualitas birokrasi dan korupsi.

Bagaimana posisi daya saing Indonesia saat ini?

Ternyata sesuai data World Economic Forum (WEF) 2016, Indonesia menempati peringkat 37 dari 144 negara.

Di dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN) Indonesia berada di urutan keempat, setelah Singapura, Malaysia dan Thailand, sebagaimana diakui oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono.

Sedangkan, untuk daya saing dan kualitas infrastrukturnya menempati urutan 82 dari 142 negara yang memiliki kualitas infrastruktur baik.

Kesenjangan

Pemerintah pun melalui Presiden Jokowi pada sebuah kesempatan mengakui bahwa kondisi infrastruktur Indonesia masih memprihatinkan.

Kondisi infrastruktur bagian barat Indonesia dan timur saat ini sangat timpang dan ini mengakibatkan perbedaan yang mencolok bagi kedua wilayah itu.

Hal itu tidak bisa dipungkiri karena keterbatasan infrastruktur seperti tiadanya akses jalan darat sebagai penghubung antarwilayah menyebabkan akses transportasi hanya bisa dilakukan dengan transportasi udara sehingga sudah bisa ditebak barang dan jasa menjadi mahal.

Sebagai contoh, Bupati Mamberamo Tengah (Mamteng), Papua, Ricky Ham Pagawak pada sebuah kesempatan awal tahun ini menyebut di ibu kota kabupaten, yakni Kobakma, harga satu sak semen mencapai Rp2.026.000, mi instan Rp5.000 per bungkus, kopi instan Rp4.000 per saset, BBM jenis premium Rp50.000 per liter dan solar Rp60.000 per liter.

Melangitnya harga semen dan barang-barang lainnya di daerah ini karena sarana yang digunakan untuk mengirim ke daerah itu masih harus menggunakan transportasi udara. Tidak ada jalur darat antardistrik yang bisa dilalui alat transportasi.

Untuk jalur transportasi udara dari ibu kota kabupaten menuju distrik-distrik, Pemkab Mamteng terpaksa harus menyewa. Karena tidak ada jadwal penerbangan reguler maka biaya sewa pesawat dari Bandara Sentani-Kobakma mencapai Rp40 juta. Sedangkan dari Wamena-Kobakma Rp28 juta, hanya untuk sekali jalan.

Untuk itu, guna mengatasi tingkat kemahalan harga-harga barang, Pemerintah Kabupaten Mamteng telah membuka isolasi jalan dari Kobakma menuju Wamena maupun sebaliknya. Saat ini, akses yang sudah terbuka mencapai 11 kilometer (km) dan ditargetkan sampai akhir tahun ini akses itu akan segera tersambung.

"Akses itu 11 kilometer (km). Padahal untuk membangun jalan di sini, per satu km jalan membutuhkan biaya Rp3,5 miliar. Berarti totalnya hampir Rp40 miliar," katanya sambil menambahkan bahwa biaya sebesar itu hanya untuk jalan aspal biasa dengan lebar tujuh meter.

Padahal, jika di daerah Indonesia bagian barat, sebut saja untuk membangun jalan lebar tujuh meter dengan beton di Pantai Utara Jawa, maka berdasarkan data dari Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) hanya dibutuhkan biaya Rp8 miliar per km.

Percepatan

Berdasarkan kondisi tersebut, Presiden Jokowi tak segan mengakui bahwa infrastruktur nasional masih memprihatinkan sehingga wajar bisa program pembangunan nasional 2014-2019. Salah satunya adalah percepatan pembangunan infrastruktur.

Tidak ada upaya lain, kata Presiden Jokowi, apa pun kondisi dan kemampuan Indonesia harus melakukan percepatan.

"Percepatan adalah sebuah keniscayaan," katanya singkat dan tegas.

Lalu apa yang dilakukan pemerintah?

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono ketika awal awal dilantik menjadi "penjaga" infrastruktur ini, tidak banyak menjanjikan gebrakan baru, tetapi hanya ingin bekerja keras dan kerja nyata.

"Gebrakan khusus itu tidak tetapi kami akan lakukan percepatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi proyek," katanya.

Untuk perencanaan dan eksekusi proyek infrastruktur di PUPR sudah dilakukan lelang dini pada triwulan terakhir tahun berjalan sehingga realisasi proyek pada awal tahun berikutnya sudah berjalan.

"Bahkan proyek sedang berjalan, proses kerja jadi tiga sif dari biasanya dua sif. Jadi, bisa dicek seluruh proyek infrastruktur di PUPR sistem kerja sudah tiga sif," katanya.

Sedangkan untuk mengatasi kekurangan anggaran seperti dana pembebasan lahan yang menjadi tanggung jawab pemerintah sesuai UU No 2/2012 tentang Pembebasan Lahan untuk proyek infrastruktur, pemerintah menerapkan Dana Talangan.

Dana talangan ini disiapkan oleh pemegang saham sebuah proyek untuk kemudian dikompensasikan kepada pelaksana proyek itu berupa masa konsesi atau subsidi bunga.

Selain itu, rezim Joko Widodo dan Jusuf Kalla ini menetapkan prinsip dan pendekatan pembangunan infrastruktur bernama membangun dari pinggir dan tidak Jawa sentris lagi, tetapi Indonesia sentris.

Pada 2016 ini, sedikitnya terdapat delapan proyek strategis nasional yang menunjukkan perkembangan signifikan melalui sejumlah program percepatan infrastruktur.

Delapan proyek itu umumnya berada di luar Jawa yakni Jalan Tol Serang-Panimbang, Terminal Kalibaru, SPAM Umbulan, Light Rail Transit (LRT) Sumatera Selatan, PLTU Batang, Pelabuhan Patimban, Palapa Ring Broadband dan Revitalisasi Bandara Juwata-Tarakan, Matahora-Wakatobi dan Labuhan Bajo-NTB.

"Bisa dibilang pada saat ini , kami sedang membangun ratusan proyek untuk mengurangi ketimpangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa, khususnya infrastruktur bagi transportasi di darat, laut dan udara," kata Kepala Negara pada pembukaan pameran pekan Infrastruktur awal November 2016.

Presiden pun optimis cepat atau lambat, hal itu akan berdampak pada biaya transportasi dan logistik lebih murah, pertukaran barang dan jasa lebih efisien sehingga produk nasional lebih bersaing dengan asing.

Kuras anggaran

Upaya pemerintah yang masif dengan percepatan pembangunan infrastruktur ternyata juga menimbulkan kesan dan kritik karena dilakukan di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih karena tekanan global dalam satu atau dua tahun terakhir.

Partai Demokrat melalui Sekjen Partai Demokrat Hinca Pandjaitan usai rapat konsolidasi partai itu di Surabaya pada awal tahun menyebut, "Penggunaan APBN untuk biaya infrastruktur yang terlalu besar bisa mengganggu alokasi untuk penanggulangan kemiskinan".

Menurut dia, Partai Demokrat menganggap baik upaya pemerintah yang terus fokus membangun infrastruktur agar secara fisik Indonesia semakin kuat.

Namun, kata Hinca, perlu dipastikan dengan saksama kebijakan pembiayaan yang tepat. Sumber pembiayaan dapat diperoleh dari APBN, BUMN dan swasta.

Jadi kebijakan pembangunan infrastruktur itu memerlukan sinergi dan koordinasi yang baik oleh semua pemangku kepentingan, sehingga dapat berjalan dengan tepat sasaran dan berhasil.

Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun sempat menanggapi pembangunan infrastruktur pemerintahan Jokowi. Menurut SBY, pemerintah sebaiknya tidak menguras anggaran di sektor infrastruktur. Apalagi, kondisi ekonomi tanah air sedang lesu.

"Saya mengerti, bahwa kita butuh membangun infrastruktur. Dermaga, jalan, saya juga setuju. Tapi kalau pengeluaran sebanyak-banyaknya dari mana? Ya dari pajak sebanyak-banyaknya. Padahal ekonomi sedang lesu," kata dia.

SBY pun meminta pemerintah mengurangi belanja infrastruktur dengan menundanya untuk dikerjakan di tahun mendatang dan inilah yang disebut dengan politik ekonomi.

Politik ekonomi pada satu sisi memang layak jadi perhitungan sebuah pemerintahan, namun siapa pun agaknya sepakat bahwa Indonesia bisa naik kelas dari kelompok negara berkembang menjadi negara maju di 2020, jika kondisi infrastruktur nasional memadai.