Potensi energi terbarukan Indonesia tidak tergarap optimal
19 November 2016 17:27 WIB
Sejumlah peserta mengunjungi gerai pameran PT Pertamina (Persero) pada acara Seminar dan Pameran Energi Baru dan Terbarukan dan Korservasi Energi (EBTKE) dan Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) 2015 di Balai Sidang, Senayan, Jakarta, Rabu (19/8/2015). (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf) ()
Yogyakarta (ANTARA News) - Potensi energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia hingga saat ini belum tergarap secara optimal, padahal pemerintah sangat memerlukan sumber cadangan bahan bakar pengganti minyak.
"Hingga saat ini, potensi energi terbarukan tidak dioptimalkan. Padahal cadangannya sangat besar," ujar Praktisi Energi dari Universitas Gadjah Mada Sri Utami Gayatri saat ditemui di Kampus Program Doktor Studi Kebijakan UGM, Yogyakarta, Sabtu.
Selain itu, kata dia, pemerintah pusat dinilai tidak serius mendukung pengembangan sektor energi baru dan terbarukan (EBT) di berbagai wilayah Indonesia, padahal cadangan pasokan minyak mentah Indonesia semakin menipis.
"Jadi memang dukungan pemerintah tidak optimal. Artinya, pemerintah mengharapkan swasta untuk membangun pembangkit listrik dari EBT. Dalam hal ini, pemerintah tidak serius," kata dia.
Selain tidak memberikan dukungan optimal, kata dia, pemerintah juga tidak memberikan fasilitas pembiayaan untuk swasta dalam memulai pekerjaan pembangunan pembangkit listrik dari EBT atau renewable energy.
Padahal untuk memulai pekerjaan pembangunan seperti itu, merupakan tanggungjawab pemerintah, katanya.
"Intinya, pemerintah harus membangun lebih dulu. Sebagai contoh saja, misalnya geothermal, untuk membangunnya saja membutuhkan biaya dengan kapasitas dibawah 10 MW, sekitar 1,5 juta dolar AS," ungkap dia.
Meski demikian, lanjutnya, alokasi anggaran seperti itu juga tidak bisa dipastikan akan menghasilkan sumber energi dari dalam tanah. Sementara dana yang dikucurkan pengusaha sudah terserap, namun tidak ada hasil.
"Itu sebab, kami minta agar pemerintah yang menanggung biaya untuk eksplorasi. Setelah sumber energinya ditemukan, baru kemudian mempersilahkan swasta untuk meneruskannya," terang Sri Utami.
Menurut dia, Indonesia memiliki sumber EBT yang melimpah, namun masih sangat sedikit yang sudah dikelola dan dikembangkan. Karena itu, peran pemerintah menjadi sangat penting untuk menyatakan dukungan terhadap pengembangan sektor EBT itu.
Karena itu, sangat diperlukan dukungan pemerintah secara konsisten untuk mengembangkan renewable energi di tengah kekurangan pasokan minyak mentah Indonesia. Termasuk juga dukungan pemerintah dalam ketersediaan lahan yang dibutuhkan.
"Jangan sampai investor yang diminta untuk membangun dari awal, lalu investor juga yang diminta untuk membebaskan lahan, serta investor juga yang membangun. Kalau seperti itu konsepnya, pasti tidak akan ada yang mau berinvestasi EBT di Indonesia," ungkap Sri Utami.
"Hingga saat ini, potensi energi terbarukan tidak dioptimalkan. Padahal cadangannya sangat besar," ujar Praktisi Energi dari Universitas Gadjah Mada Sri Utami Gayatri saat ditemui di Kampus Program Doktor Studi Kebijakan UGM, Yogyakarta, Sabtu.
Selain itu, kata dia, pemerintah pusat dinilai tidak serius mendukung pengembangan sektor energi baru dan terbarukan (EBT) di berbagai wilayah Indonesia, padahal cadangan pasokan minyak mentah Indonesia semakin menipis.
"Jadi memang dukungan pemerintah tidak optimal. Artinya, pemerintah mengharapkan swasta untuk membangun pembangkit listrik dari EBT. Dalam hal ini, pemerintah tidak serius," kata dia.
Selain tidak memberikan dukungan optimal, kata dia, pemerintah juga tidak memberikan fasilitas pembiayaan untuk swasta dalam memulai pekerjaan pembangunan pembangkit listrik dari EBT atau renewable energy.
Padahal untuk memulai pekerjaan pembangunan seperti itu, merupakan tanggungjawab pemerintah, katanya.
"Intinya, pemerintah harus membangun lebih dulu. Sebagai contoh saja, misalnya geothermal, untuk membangunnya saja membutuhkan biaya dengan kapasitas dibawah 10 MW, sekitar 1,5 juta dolar AS," ungkap dia.
Meski demikian, lanjutnya, alokasi anggaran seperti itu juga tidak bisa dipastikan akan menghasilkan sumber energi dari dalam tanah. Sementara dana yang dikucurkan pengusaha sudah terserap, namun tidak ada hasil.
"Itu sebab, kami minta agar pemerintah yang menanggung biaya untuk eksplorasi. Setelah sumber energinya ditemukan, baru kemudian mempersilahkan swasta untuk meneruskannya," terang Sri Utami.
Menurut dia, Indonesia memiliki sumber EBT yang melimpah, namun masih sangat sedikit yang sudah dikelola dan dikembangkan. Karena itu, peran pemerintah menjadi sangat penting untuk menyatakan dukungan terhadap pengembangan sektor EBT itu.
Karena itu, sangat diperlukan dukungan pemerintah secara konsisten untuk mengembangkan renewable energi di tengah kekurangan pasokan minyak mentah Indonesia. Termasuk juga dukungan pemerintah dalam ketersediaan lahan yang dibutuhkan.
"Jangan sampai investor yang diminta untuk membangun dari awal, lalu investor juga yang diminta untuk membebaskan lahan, serta investor juga yang membangun. Kalau seperti itu konsepnya, pasti tidak akan ada yang mau berinvestasi EBT di Indonesia," ungkap Sri Utami.
Pewarta: RH Napitupulu
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016
Tags: