Denpasar (ANTARA News) - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai menyatakan sekitar seribu korban bom di Indonesia belum mendapatkan kompensasi dari negara karena terkendala prosedur mengingat tidak adanya proses peradilan yang baru.

"Saat ini korban terorisme masa lalu kesulitan untuk mendapatkan kompensasi karena tidak ada proses peradilan yang baru," katanya ditemui usai membuka seminar dan fokus diskusi berkelompok terkait antisipasi terorisme di Sanur, Denpasar, Rabu.

Menurut dia, sekitar seribu korban bom yang belum mendapat ganti rugi atau kompensasi tersebut terjadi pada peristiwa sekitar tahun 2001 dari kasus bom di Jakarta, Bom Bali I dan II, Bom Kedubes Australia, Bom JW Marriot dan peristiwa bom yang sudah selesai masa peradilannya.

"Korban berhak mendapat ganti rugi dari negara. Untuk mendapatkan itu harus ada peradilan yang memutuskan. kalau peristiwa itu di masa lalu, pengadilan sudah lewat sehingga tidak bisa diproses melalui pengadilan," ucap Abdul.

Mengingat terkendala prosedur tersebut, LPSK menyiasatinya dengan menggandeng pelaku usaha di nasional dan lokal di daerah untuk ikut berpartisipasi memberikan bantuan baik materi dan pemberdayaan kepada para korban.

Komitmen itu diwujudkan melalui penandatanganan nota kesepakatan antara LPSK dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) dan LPSK dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bali.

Diharapkan pelaku usaha menyisihkan keuntungannya untuk membantu para korban bom.

Sedangkan untuk korban ledakan bom terbaru seperti ledakan bom di Sarinah, Jakarta, LPSK telah memfasilitasi sembilan korban untuk mendapatkan ganti rugi melalui proses pengadilan kepada terdakwa dan tuntutan ganti rugi yang saat ini tengah berlangsung.

"Kompensasi yang diajukan sembilan korban itu mencapai Rp1 miliar dan itu perhitungannya yang sudah mereka keluarkan dalam pengobatan dan psikologi," katanya.

Meski demikian tidak serta merta tuntutan ganti rugi tersebut segera terealisasi karena harus menunggu proses di meja hijau.