BI resmikan "think-tank" sektor keuangan berbasis teknologi
14 November 2016 11:49 WIB
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo memberikan sambutan sebelum meresmikan BI Financial Technology (Fintech) Office di Jakarta, Senin (14/11/2016). BI Fintech Office akan menjadi wadah evaluasi, penelusuran, dan mitigasi risiko dalam pengembangan perusahaan-perusahaan di bidang teknologi keuangan, khususnya terkait sistem pembayaran. (ANTARA /Akbar Nugroho Gumay)
Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, Senin, meresmikan Fintech Office, sebuah katalisator yang juga berperan menjadi think-tank (wadah pemikir) dalam pengembangan industri jasa keuangan berbasis teknologi (Financial Technology/Fintech).
"Inovasi teknologi pada sektor keuangan saat ini menjadi keniscayaan. Maka itu, regulasi harus selalu dekat dengan inovasi," kata Agus dalam sambutannya sebelum meresmikan "Fintech Office" di Jakarta.
Agus menjelaskan ada empat peran Fintech Office. Peran pertama sebagai katalisator atau fasilitator dalam pertukaran ide antara regulator dan juga pelaku industri Fintech, atau antara para pelaku industri Fintech.
Kedua, sebagai Business Intelligence. Dalam peran kedua ini, Fintech Office akan menjadi lembaga yang memfasilitasi teknik dan alat untuk mentransformasi data mentah menjadi informasi terbaru sebagai bahan analisis.
Peran ketiga adalah sebagai peran asesmen atau pengujian ide dan regulasi yang akan dikeluarkan.
Sedangkan peran keempat, kata Agus, Bank Sentral akan menyediakan wadah koordinasi dan kolaborasi antara pemangku kepentingan di industri Fintech.
"Kita akan buat layanan one stop service yang dapat digunakan oleh para pelaku untuk memperjelas kebijakan yang kami keluarkan," katanya.
Dalam Fintech Office"tersebut, BI juga membuat Regulatory Sandbox atau laboratorium perumusan kebijakan.
Dalam laboratorium ini, pelaku bisnis dan regulator dapat melakukan pegujian terhadap produk dan model bisnis "Fintech"
"Dalam sandbox ini akan menjadi wadah linkungan terbatas, untuk mengembangkan inovasi dan menguji kebijakan yang dikeluarkan," kata Deputi Gubernur BI Ronald Waas.
Namun, Ronald menjelaskan, tidak semua segmen bisnis Fintech akan masuk dalam Fintech Office.
Wadah katalisator ini dikhususkan untuk segmen bisnis Fintech yang tergolong baru dan belum diatur oleh BI sebagai otoritas sistem pembayaran.
"Yang masuk hanya yang breakthrough atau bersifat baru. Semua akan kembali pada cakupan bisnis. Kalau untuk transfer dana atau uang eletronik itu kan sudah diatur sebelumnya," ucapnya.
Sedangkan untuk landasan hukum, BI pada 14 November 2016 ini juga mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia untuk Pemrosesan Transkasi Pembayaran, yang di dalamnya mengatur juga mekanisme sistem pebayaran dalam "Fintech".
Ronald menekankan pentingnya Fintech Officedan Regulatory Sandbox ini agar BI dapat memfasilitasi perkembangan pesat Fintech, sekaligus dapat memitigasi risiko dan menjaga unsur kehati-hatian terutama dalam aspek perlindungan konsumen.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), saat ini terdapat 120 perusahaan Fintech dengan total aset Rp100 miliar. Jumlah aset Finctech itu meningkat 50 persen dibandingkan dengan total aset pada awal 2015.
"Inovasi teknologi pada sektor keuangan saat ini menjadi keniscayaan. Maka itu, regulasi harus selalu dekat dengan inovasi," kata Agus dalam sambutannya sebelum meresmikan "Fintech Office" di Jakarta.
Agus menjelaskan ada empat peran Fintech Office. Peran pertama sebagai katalisator atau fasilitator dalam pertukaran ide antara regulator dan juga pelaku industri Fintech, atau antara para pelaku industri Fintech.
Kedua, sebagai Business Intelligence. Dalam peran kedua ini, Fintech Office akan menjadi lembaga yang memfasilitasi teknik dan alat untuk mentransformasi data mentah menjadi informasi terbaru sebagai bahan analisis.
Peran ketiga adalah sebagai peran asesmen atau pengujian ide dan regulasi yang akan dikeluarkan.
Sedangkan peran keempat, kata Agus, Bank Sentral akan menyediakan wadah koordinasi dan kolaborasi antara pemangku kepentingan di industri Fintech.
"Kita akan buat layanan one stop service yang dapat digunakan oleh para pelaku untuk memperjelas kebijakan yang kami keluarkan," katanya.
Dalam Fintech Office"tersebut, BI juga membuat Regulatory Sandbox atau laboratorium perumusan kebijakan.
Dalam laboratorium ini, pelaku bisnis dan regulator dapat melakukan pegujian terhadap produk dan model bisnis "Fintech"
"Dalam sandbox ini akan menjadi wadah linkungan terbatas, untuk mengembangkan inovasi dan menguji kebijakan yang dikeluarkan," kata Deputi Gubernur BI Ronald Waas.
Namun, Ronald menjelaskan, tidak semua segmen bisnis Fintech akan masuk dalam Fintech Office.
Wadah katalisator ini dikhususkan untuk segmen bisnis Fintech yang tergolong baru dan belum diatur oleh BI sebagai otoritas sistem pembayaran.
"Yang masuk hanya yang breakthrough atau bersifat baru. Semua akan kembali pada cakupan bisnis. Kalau untuk transfer dana atau uang eletronik itu kan sudah diatur sebelumnya," ucapnya.
Sedangkan untuk landasan hukum, BI pada 14 November 2016 ini juga mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia untuk Pemrosesan Transkasi Pembayaran, yang di dalamnya mengatur juga mekanisme sistem pebayaran dalam "Fintech".
Ronald menekankan pentingnya Fintech Officedan Regulatory Sandbox ini agar BI dapat memfasilitasi perkembangan pesat Fintech, sekaligus dapat memitigasi risiko dan menjaga unsur kehati-hatian terutama dalam aspek perlindungan konsumen.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), saat ini terdapat 120 perusahaan Fintech dengan total aset Rp100 miliar. Jumlah aset Finctech itu meningkat 50 persen dibandingkan dengan total aset pada awal 2015.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016
Tags: