Kebebasan berekspresi versus ujaran kebencian
13 November 2016 19:48 WIB
Terlapor kasus dugaan pengeditan video Ahok, Buni Yani (kedua kanan), didampingi kuasa hukumnya menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani pemeriksaan usai memenuhi panggilan Bareskrim Polri di Jakarta, Kamis (10/11/2016). Buni Yani diperiksa Bareskrim Polri selama 4 jam sebagai saksi terkait dugaan penistaan agama yang diduga dilakukan gubernur non-aktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). (ANTARA FOTO/Reno Esnir)
Jakarta (ANTARA News) - Ujaran kebencian (hate crime) kerap disalahartikan sebagai kebebasan berekspresi, kata Gloria Truly Esterlita, kandidat Doktor Penologi, Prancis, yang menulis tentang Hate Crime.
Dalam diskusi Tolerance Film Festival di IFI Jakarta, Minggu, Gloria mengemukakan perbedaan antara ujaran kebencian dan kebebasan berekspresi.
“Dalam ujaran kebencian, ada proses interpelasi atau pemanggilan yang kerap dilakukan terhadap pihak yang diserang,” kata Gloria dalam pesan audio dalam diskusi mengenai toleransi tersebut.
“Akibatnya, terjadi stigmatisasi buruk atau jahat,” imbuh dia.
Kampanye anti Ahok yang baru-baru ini terjadi, baik di dunia nyata maupun dunia maya, adalah salah satu contoh ujaran kebencian, kata Gloria.
Sebab, ada penggunaan kata-kata bermuatan kebencian seperti “kafir”, “bukan pribumi” hingga “musuh Islam” dalam kampanye tersebut yang bisa memicu aksi kejahatan berbasis kebencian.
Menurut Gloria, kerap kali orang tidak sadar mereka sedang melakukan kejahatan berbasis kebencian atau ujaran kebencian karena kurang informasi dan ilmu pengetahuan.
Ujaran kebencian ada kalanya juga dianggap sebagai kebebasan berekpsresi karena setiap orang punya pemahaman berbeda.
Gloria mengatakan pendidikan punya peran penting untuk memberi pemahaman pada masyarakat, baik itu di rumah, sekolah maupun tempat ibadah.
“Selain itu perlu dibuka lebarnya akses pemenuhan kebutuhan intelektual supaya kita bisa mengenal dan selanjutnya mampu atau bisa menerima perbedaan yang ada,” papar dia.
Menerbitkan tulisan dari berbagai perspektif juga bisa menangkal ujaran kebencian karena membantu seseorang melihat permasalahan dari sisi berbeda.
Dalam diskusi Tolerance Film Festival di IFI Jakarta, Minggu, Gloria mengemukakan perbedaan antara ujaran kebencian dan kebebasan berekspresi.
“Dalam ujaran kebencian, ada proses interpelasi atau pemanggilan yang kerap dilakukan terhadap pihak yang diserang,” kata Gloria dalam pesan audio dalam diskusi mengenai toleransi tersebut.
“Akibatnya, terjadi stigmatisasi buruk atau jahat,” imbuh dia.
Kampanye anti Ahok yang baru-baru ini terjadi, baik di dunia nyata maupun dunia maya, adalah salah satu contoh ujaran kebencian, kata Gloria.
Sebab, ada penggunaan kata-kata bermuatan kebencian seperti “kafir”, “bukan pribumi” hingga “musuh Islam” dalam kampanye tersebut yang bisa memicu aksi kejahatan berbasis kebencian.
Menurut Gloria, kerap kali orang tidak sadar mereka sedang melakukan kejahatan berbasis kebencian atau ujaran kebencian karena kurang informasi dan ilmu pengetahuan.
Ujaran kebencian ada kalanya juga dianggap sebagai kebebasan berekpsresi karena setiap orang punya pemahaman berbeda.
Gloria mengatakan pendidikan punya peran penting untuk memberi pemahaman pada masyarakat, baik itu di rumah, sekolah maupun tempat ibadah.
“Selain itu perlu dibuka lebarnya akses pemenuhan kebutuhan intelektual supaya kita bisa mengenal dan selanjutnya mampu atau bisa menerima perbedaan yang ada,” papar dia.
Menerbitkan tulisan dari berbagai perspektif juga bisa menangkal ujaran kebencian karena membantu seseorang melihat permasalahan dari sisi berbeda.
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016
Tags: