Yogyakarta (ANTARA News) - Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo prihatin Bahasa Jawa saat ini jarang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari, sehingga dikhawatirkan pudar dan sulit dipahami oleh masyarakat Jawa, khususnya generasi mendatang.

"Bahasa Jawa sudah sedikit pudar karena mulai jarang digunakan," kata Ganjar, saat menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa Jawa VI, di Yogyakarta, Rabu.

Menurut Ganjar, seseorang merasa kesulitan melafalkan atau memahami teks Bahasa Jawa, khususnya kromo inggil (Bahasa Jawa halus) antara lain karena tidak biasa menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari.

Menurut dia, Bahasa Jawa akan tetap lestari apabila terus digunakan seperti yang ia pernah jumpai di Suriname.

Saat berkunjung di Suriname, menurut dia, tidak sedikit masyarakat yang mahir menggunakan bahasa Jawa, mengingat sebagian dari mereka merupakan warga Indonesia.

"Beberapa di antara mereka tetap menggunakan Bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari, sehingga tidak heran jika mereka masih pandai berbahasa Jawa. Ketika saya berbicara Bahasa Inggris, mereka paham, bahkan ada yang menjawab dengan Bahasa Jawa Kromo Ingil," kata dia lagi.

Upaya agar Bahasa Jawa tetap lestari dan diminati masyarakat Jawa Tengah, Ganjar memiliki cara tersendiri yakni dengan mewajibkan berbagai acara pemerintahan menggunakan Bahasa Jawa setiap hari Kamis.

"Saat hari Kamis menggunakan Bahasa Jawa sulit dipraktikkan. Ini problem, tidak apa-apa, sebisa mungkin tetap menggunakan bahasa daerah," kata dia pula.

Selain itu, ia juga mewajibkan seluruh pegawai di Jawa Tengah mengenakan baju daerah setiap tanggal 15. Kebijakan itu dibuat supaya seluruh lapisan masyarakat di Jawa Tengah mencintai budaya daerah masing-masing, termasuk bahasa dan dialeknya.

Kongres Bahasa Jawa merupakan kegiatan rutin lima tahunan yang membahas mengenai bahasa dan budaya Jawa yang diselenggarakan oleh pemerintah tiga provinsi di Pulau Jawa secara bergantian, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Acara itu diikuti sekitar 500 peserta yang terdiri atas praktisi budaya Jawa, birokrat, akademisi, dan masyarakat pencinta budaya Jawa serta undangan khusus baik dari dalam maupun luar negeri.