Yogyakarta (ANTARA News) - Pernyataan politik Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang juga Sultan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, yang tidak bersedia lagi menjabat sebagai gubernur sehabis masa jabatan periode keduanya pada 2008 kontan mengundang reaksi rakyatnya. Menanggapi pernyataan "Ngarsa Dalem" yang disampaikan pada perayaan "Wiyosan Dalem" atau hari ulang tahun ke-61 Sultan HB X di Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sabtu (7/4) malam, rakyatnya sepakat untuk menggelar "Pisowanan Ageng" (kunjungan rakyat secara besar-besar menghadap sultan). Kegiatan itu, menurut koordinar lapangan Pisowanan Agung, Wisnu Aji, untuk mendengarkan secara langsung penjelasan Sultan HB X terkait pernyataannya yang tidak lagi bersedia menjabat gubernur untuk periode mendatang. "Dengan demikian, rakyat menjadi paham apa sebenarnya yang menjadi pertimbangan 'Ngarsa Dalem' mengambil keputusan tidak bersedia menjabat lagi sebagai gubernur," katanya. Pisowanan Ageng itu akhirnya terlaksana pada Rabu (18/4) siang yang dihadiri puluhan ribu warga dari Kabupaten Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, Sleman dan Kota Yogyakarta, di Pagelaran Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada acara yang juga dihadiri unsur Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) DIY, bupati dan walikota, kerabat keraton, dan abdi dalem keraton itu, masyarakat DIY meminta Sri Sultan Hamengku Buwono X mempertimbangkan kembali pernyataannya. Seperti dikatakan Sukarman (52), warga Kabupaten Kulonprogo yang hadir pada acara tersebut, masyarakat prihatin mendengar pernyataan Sultan yang tidak mau lagi menjadi gubernur. "Masyarakat bingung dan tidak tahu kenapa Sultan mengeluarkan pernyataan seperti itu," kata dia. Menurut Sukarman, masyarakat DIY masih menginginkan Sultan tetap mau menjadi Gubernur DIY periode mendatang. "Ini wujud kecintaan dan kesetiaan warga kepada Sultan," katanya. Hal senada dikemukakan Sunardi (44), warga Sendangtirto, Berbah, Sleman, yang mengatakan, rakyat menghadap Sultan dalam acara Pisowanan Agung itu untuk mendengar langsung penjelasan "Ngarsa Dalem". "Sebetulnya, kami masih menginginkan Sultan HB X menjabat lagi sebagai gubernur, tetapi beliau tidak bersedia lagi. Untuk itu, kami ingin mendengarkan penjelasan beliau secara langsung mengenai pertimbangan apa yang mendasari 'Ngarsa Dalem' mengambil sikap seperti itu," katanya. Menanggapi permintaan rakyatnya, Sultan HB X dalam Pisowanan Ageng itu mengatakan, jika nanti dirinya tidak menjadi gubernur untuk periode mendatang, maka warga DIY harus ikhlas. "Saya tidak jadi gubernur, warga Yogyakarta harus ikhlas, dan dari Yogya kita bangun Indonesia baru dengan peradaban baru, dan untuk itu dengan ikhlas, serta jujur saya ingin mengabdi," kata pria yang lahir pada 2 April 1946 itu. Sultan, yang bernama lahir Herjuno Darpito, mengenakan baju batik lengan panjang warna coklat gelap dengan didampingi permaisurinya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, itu mengemukakan, jika ada yang berpendapat bahwa dirinya punya orientasi untuk 2009 (pemilihan Presiden), hal tersebut bukan urusannya. "Itu hanya pendapat orang," katanya. Bagi Sultan, yang pernah bergelar Pangeran Mangkubumi, orang mau berbicara dan berpendapat apa pun itu merupakan hak mereka. Namun, ia menegaskan, untuk menentukan pilihan adalah hak Sultan, dan untuk memutuskan pilihan tersebut dirinya mengalami proses yang cukup berat. "Saya bergulat dan bertanya dengan diri sendiri, serta bertempur dengan batin sendiri," kata ayah dari empat putri itu. Ia mengatakan, keluarga keraton telah memilih dirinya untuk meneruskan dinasti Mataram dengan nama Hamengku Buwono X. "Saya sadar sebagai sultan tidak boleh melepas pondasi yang sudah dibangun leluhur saya, dan saya harus ikhlas mengabdi kepada rakyat dan bangsa," katanya. Sebagai pemimpin, Sultan secara spiritual wajib berbicara benar, berfikir benar, bersikap benar, dan jujur. Untuk itu, dirinya harus jujur dan ikhlas mengabdi kepada seluruh rakyat. "Saya paham tentang itu, dan saya harus melakukannya, sekaligus untuk menjaga pondasi yang telah dibangun leluhur saya," katanya. Dengan pergantian dari HB IX ke HB X, dirinya harus memiliki kemauan,, dan melakukan mawas diri. "Bagi saya, pengabdian tidak mudah, karena harus didasari keikhlasan dan kejujuran," katanya. Pengabdian itu adalah untuk memberi, bukan menerima. "Selama proses bertahun-tahun, saya harus menentukan keputusan untuk tetap menjadi gubernur atau tidak," kata Sultan. Melalui pergulatan yang berat, akhirnya Sultan HB X mengambil sikap untuk tidak bersedia menjadi gubernur kembali. "Sikap ini sebelumnya sudah saya beritahukan kepada keluarga dan Wakil Gubernur Paku Alam IX," kata dia. Sebab, menurut dia, pemimpin itu hanya satu, bukan dua. "Karena itu, saya mengambil inisiatif tidak bersedia lagi menjadi gubernur setelah tahun 2008," kata Sultan. Menurut dia, bukan hanya masalah jabatan dan pemerintahan DIY yang perlu dipikirkan, tetapi persoalan yang lebih besar yang dihadapi bangsa ini yang perlu diselesaikan sebagai suatu bentuk konsistensi reformasi. Sampai hari ini masih banyak kemiskinan, pengangguran, dan kebodohan. Padahal, ia menilai, adanya reformasi, harapannya adalah rakyat hidup lebih baik dengan rasa keadilan dan kejujuran. "Itu yang membuat saya prihatin," katanya. Dalam acara "Pisowanan Ageng" itu pula, Sultan HB X juga mengatakan, bangsa ini masih banyak menghadapi persoalan, dan karena itu harus segera dicarikan solusi untuk keluar dari persoalan tersebut. "Faktanya, setelah hampir 10 tahun saya menjadi gubernur, saya belum bisa berbuat banyak untuk rakyat Yogyakarta. Dengan pilihan saya tidak jadi gubernur lagi, mungkin saya bisa berbuat lebih banyak untuk rakyat," katanya. Komitmennya tidak hanya untuk rakyat Yogyakarta, tetapi juga diabdikan untuk republik ini sesuai pesan almarhum HB IX. "Biar pun saya tidak jadi gubernur, HB X tidak akan hilang. Saya tetap di Yogyakarta dan memihak rakyat serta republik ini, dan saya tidak mungkin mengkhianatinya, karena saya paham pondasi yang telah dibangun leluhur saya," kata Sultan. Dikatakan pula bahwa dengan menjadi gubernur, maka masa pengabdiannya hanya lima tahun, tetapi sebagai sultan pengabdiannya sampai mati. "Sebagai Sultan, saya telah berjanji pada orang tua untuk tidak melanggar aturan dan ambisius, serta lebih berani menyatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Janji itu akan saya pegang sampai mati, karena merupakan komitmen saya terhadap bangsa dan republik ini," kata Sultan HB X menegaskan. Sultan menambahkan, dirinya ingin mengabdi secara ikhlas dan jujur, karena masih banyak persoalan bangsa yang perlu diselesaikan. "Meskipun nanti saya tidak lagi menjabat gubernur, saya tetap ingin mengabdikan diri pada republik ini untuk ikut berpartisipasi mengatasi persoalan bangsa, agar bangsa ini mempunyai kesempatan untuk menatap masa depan yang lebih baik," demikian Sultan HB X. (*)