Jakarta (ANTARA News) - Politisi senior Partai Golongan Karya (Golkar), Akbar Tandjung menghadiri sidang praperadilan yang diajukan mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.

"Saya adalah senior dari Irman Gusman, saya merasa prihatin terhadap peristiwa yang dialami oleh saudara Irman bahkan saya sebetulnya ingin menemui dia di Rumah Tahanan Guntur tetapi belum bisa," kata Akbar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.

Ia menjelaskan bahwa kedatangan dirinya ke PN Jakarta Selatan merupakan suatu bentuk keprihatinan terhadap peristiwa yang dialami oleh Irman Gusman.

"Irman dulu kan kuliahnya di Fakultas Ekonomi UKI, saya dikasih tahu kawan-kawan dari alumni UKI kalau mau ketemu Pak Irman sebaiknya datang saja ke PN Jakarta Selatan, itu lah yang saya dapatkan infonya kemarin yang menyebabkan saya datang hari ini," tuturnya.

Menurutnya, apabila penetapan tersangka tidak sesuai dengan aturan-aturan, maka seseorang juga punya hak untuk melalukan gugatan dalam bentuk praperadilan.

"Tetapi tentu saja saya merasa negara ini kan negara hukum bukan negara kekuasaan, saya melihat ada yurisprudensi bahwa bilamana ada seseorang menganggap ada proses hukum dari penetapan tersangka yang tidak sesuai dengan aturan-aturan maka dia juga punya hak untuk melalukan gugatan dalam bentuk praperadilan," katanya.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (31/10) kembali menggelar sidang lanjutan praperadilan yang diajukan Irman Gusman dengan agenda mendengarkan keterangan dari pihak pemohon.


Kasus ini diawali dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang terjadi pada Sabtu, 16 September 2016 dini hari terhadap empat orang yaitu Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto, istrinya Memi, adik Xaveriandy dan Ketua DPD Irman Gusman di rumah Irman di Jakarta.

Kedatangan Xaveriandy dan Memi adalah untuk memberikan Rp100 juta kepada Irman yang diduga sebagai ucapan terima kasih karena Irman memberikan rekomendasi kepada Bulog agar Xaverius dapat mendapatkan jatah untuk impor tersebut.

Irman Gusman dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Xaverius dan Memi disangkakan menyuap Irman dan jaksa Farizal yang menangani perkara dugaan impor gula ilegal dan tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) seberat 30 ton dimana Xaverius merupakan terdakwanya.

Uang suap yang diberikan kepada Farizal adalah sebesar Rp365 juta dalam empat kali penyerahan, sebagai imbalannya, Farizal dalam proses persidangan juga bertindak seolah sebagai penasehat hukum Xaverius seperti membuat eksekpsi dan mengatur saksi saksi yang menguntungkan terdakwa.