Daytona Beach, Florida (ANTARA News) - Menuju bagian terakhir kampanye kepresidenan, calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat Hillary Clinton menggerakkan bintang-bintang dari kaum selebritis untuk mendulang suara dan sekaligus menyemangati para relawan di negara bagian-negara bagian yang menjadi medan pertarungan tersulit.

Jennifer Lopez akan menggelar konser gratis untuk para pendukung Hillary di Miami, Sabtu waktu setempat, sehingga memberi mantan menteri luar negeri itu peluang untuk terhubung dengan generasi milenial yang kadang sulit dia rengkuh dan sekaligus menutup kontroversi email yang bisa menghancurkan kampanye menuju Gedung Putih.

Jumat lalu FBI menyatakan tengah menyelidiki emal-email lain sebagai bagian dari penyelidikan atas penggunaan sistem email pribadi oleh Hillary.

Acara-acara yang didukung para selebriti seperti konser musik bisa mengalihkan perhatian dari kontroversi semacam itu, kata Eric Kasper, pakar politik dari Universitas Wisconsin-Eau Claire. "Ini adalah cara untuk menutupi hal karena cenderung lebih positif."

Konser JLo adalah yang pertama dari rangkaian konser selebritis pendukung Hillary. Pekan depan, Hillary akan manggung bersama Jay Z di Cleveland, dan kemudian bersama Katy Perry di Philadelphia pada 5 November.

Sebuah jajak pendapat dari Universitas Harvard pekan ini memperlihatkan bagi kalangan usia 18 sampai 29 tahun, Hillary telah mengungguli calon presiden dari Partai Republik Donald Trump yang tak lain juga selebriti yang membintangi reality show televisi "The Apprentice."

Namun golput menjadi keprihatinan. Kamu muda Amerika cenderung punya persepsi negatif menyangkut politik pada Pemilu kali ini, simpul jajak pendapat Reuters/Ipsos.

Para calon presiden telah lama berusaha menciptakan buzz dengan bantuan para selebriti pendukungnya, kata Tevi Troy, pengarang buku "What Jefferson Read, Ike Watched, and Obama Tweeted: 200 Years of Pop Culture in the White House."

"Kampanye dilakukan untuk menjangkau orang-orang yang tidak tertarik dunia politik namun tertarik pada budaya pop," kata Troy, sejarawan yang pernah bekerja untuk George W. Bush, seperti dikutip Reuters.