Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) mengajak seluruh elemen bangsa untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

"Pererat tali silaturahim antarkomponen masyarakat. Jaga ukhuwwah wathoniyah (persaudaraan antarsesama warga bangsa) dan ukhuwwah basyariyah (persaudaraan berdasar kemanusiaan) agar Indonesia terbebas dari ancaman perpecahan," kata Ketua Umum PB NU, KH Said Aqil Siradj, dalam konferensi pers, di Jakarta, Jumat.

Pernyataan itu dikeluarkan menanggapi eskalasi dan perkembangan keadaan terkini, terutama terkait diskursus publik yang luas atas pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Purnama (Ahok), di Kepulauan Seribu yang menimbulkan kontroversi di hampir seluruh kalangan.

Siradj menegaskan persatuan adalah modal utama bangsa Indonesia di dalam membangun suatu tatanan masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur.

Hari ini, lanjut dia, Indonesia dikenal publik internasional sebagai negara yang patut dijadikan percontohan dan teladan, terutama dalam menjadikan faktor kebhinnekaan atau keanekaragaman sebagai kekuatan.

Indonesia telah berhasil meletakkan hubungan agama dengan negara secara ideal. Agama tidak lagi dipertentangkan dengan negara.

"Nilai agama melebur dengan budaya lokal yang baik, melahirkan spirit wathoniyah, nasionalisme yang tumbuh subur dengan berkembangnya nilai keagamaan," katanya.

Menurut dia, kondisi itu harus disyukuri dan dijaga, bukan justru dirusak. Apa yang ada di Indonesia itu tidak terjadi di beberapa negara, terutama di negara-negara Teluk ataupun di negara-negara sekuler.

Ia mengatakan hari ini negara-negara teluk seperti Irak, Pakistan, Afghanistan, Suriah, dan Yaman memasuki suatu babak baru yang disebut sebagai negara gagal diakibatkan keliru menerapkan hubungan agama dan negara sehingga keduanya dipertentangkan satu sama lain yang akibatnya menimbulkan kekacaubalauan.

"Ratusan ribu bahkan jutaan manusia menjadi korban atas peperangan yang timbul akibat kesalahpahaman," kata dia.

Sementara di negara-negara sekuler yang hanya mengedepankan rasionalitas tanpa agama, kata dia, justru melahirkan titik balik suatu peradaban yang tidak lagi "memanusiakan manusia".