Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta semua aparatur pemerintah untuk berhemat pada 2017 karena semakin tingginya beban pengeluaran sementara APBN berkurang.

"Biaya birokrasi tinggi, dan 20 persen dari anggaran untuk bayar utang dan cicilan. APBN yang disetujui tidak mampu mendorong ekonomi jadi sektor pembangunan yang lebih akseleratif, itu keadaan yang kita hadapi artinya maka solusinya adalah semua harus berhemat," kata Wapres di Jakarta, Kamis.

Wapres saat memberikan ceramah kunci pada Tempo Economic Breifing juga memerintahkan agar para kepala daerah harus mengurangi biaya yang selama ini lebih banyak untuk pelayanan internal dan birokrasi.

Wapres merincikan, karena biaya birokrasi yang tinggi berefek pada banyaknya utang, bayar cicilan, bayar pokok, yang diperkirakan tahun depan hampir Rp500 triliun. Akibatnya postur RAPBN 2017, yang disepakati belanja negara sebesar Rp2.080 triliun tidak mampu mendorong ekonomi.

Namun pemerintah tetap berkomitmen pada pelayanan masyarakat dengan menaikkan subsidi masyarakat seperti melalui biaya kesehatan dan pendidikan.

"Ini menjadi bagian untuk menutup ketimpangan keadilan, tetapi di lain pihak tentu mengurangi anggaran untuk pembangunan," katanya.

Badan Anggaran (Banggar) DPR dan pemerintah menyepakati naskah Rancangan Undang-Undang APBN 2017 dibawa ke sidang paripurna parlemen pada Rabu (26/10).

Dalam postur RAPBN 2017, pemerintah dan Banggar DPR menyepakati belanja negara sebesar Rp2.080 triliun terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp1.315,5 triliun dan belanja transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp764,9 triliun.

Komponen belanja pemerintah pusat antara lain belanja kementerian/lembaga (K/L) disepakati sebesar Rp763,6 triliun dan non-K/L Rp552 triliun. Sedangkan, pendapatan negara disepakati Rp1.750,3 triliun.

Dari pendapatan itu, penerimaan pajak ditargetkan Rp1.498,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp250 triliun, serta hibah Rp1,4 triliun.

Adapun defisit anggaran yang ingin dikendalikan pemerintah adalah maksimal 2,41 persen dari produk domestik bruto atau sebesar Rp330,2 triliun.