"Saya mengandalkan daya ingat. Menghapalkan susunannya, sambil diraba-raba," sambung Tati.
Perempuan yang tergabung dalam pelatnas sejak 2011 itu menuturkan, ada bidak dan papan catur khusus mereka yang tuna netra.
"Kalau kami berbeda caturnya. Ada pembeda antara yang hitam dan putih. Kami ada tandanya. Yang hitam biasanya ada pakunya, kalau di papan yang tinggi itu hitam," kata dia.
Kendati begitu, sebenarnya mereka yang menyandang tuna netra bisa memainkan bidak catur pada umumnya.
"Karena itu berhubungan dengan bakat. Kalau yang bukan bakat tetap susah. Beda yang sudah alami. Kalau saya termasuk bakat, sudah hobi. Setiap hari main, kalau hobi enggak ada bosen-bosennya," tutur Tati.
"Catur Melatih kesabaran, ketelitian, kalau bisa mengaplikasikan kehidupan sehari-hari," imbuh dia yang baru mengalami keterbatasan daya lihat di usia lima tahun itu.
Sejak masuk pelatnas, Tati sudah mengikuti beragam kompetisi antara lain ASEAN Para Games 2011 di Solo, Peparnas 2012 di Riau dan ASEAN Para Games 2014 di Myanmar.
"Alhamdulillah waktu di Riau dapat satu emas untuk nomor catur cepat dan satu perak untuk catur standar tuna netra. Untuk ASEAN Para Games tiga emas yakni perorangan cepat. Standar perorangan, beregu cepat," kata dia.
"Ini sesuai target saya," kata dia.
Wasit catur
Salah satu wasit catur di Peparnas, Zul Taroreh mengatakan pecatur tuna netra cenderung sensitif ketimbang mereka yang tuna daksa ataupun tuna rungu dan wicara.
Berbeda dari pertandingan pada umumnya, pertandingan catur untuk para tuna netra biasanya mengharuskan wasit menjalankan tugas tambahan seperti membantu memindahkan bidak dan menyebutkan perpindahannya (sesuai permintaan atlet) dan mengatur jam.
Dalam pertandingan yang mempertemukan sesama pecatur tuna netra ataupun tuna netra dengan tuna daksa/wicara/rungu, biasanya ada seorang petugas yang membantu memindahkan bidak catur.
Dia juga membacakan pesan tertulis lawan (bila menderita tuna daksa/rungu/wicara) pada pecatur tuna netra dan wasit.