Jamasan pusaka Yogyakarta ingatkan pemimpin perhatikan rakyat
21 Oktober 2016 13:05 WIB
Jamasan Kereta Kraton Yogyakarta Abdi dalem membasuh Kereta Kanjeng Nyai Jimat saat tradisi jamasan kereta (mencuci kereta) Keraton Yogyakarta di Museum Kereta Keraton Yogyakarta, Jumat (23/10/15). Dalam tradisi yang berlangsung setiap bulan Muharram itu sebanyak dua kereta dari 23 kereta koleksi Kraton Yogyakarta dijamas, yakni Kereta Kanjeng Nyai Jimat serta Kereta Kanjeng Kyai Wimono Putro, dimana air serta kain sisa jamasan kereta menjadi rebutan masyarakat. (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko) ()
Yogyakarta (ANTARA News) - Jamasan pusaka milik Pemerintah Kota Yogyakarta, Tombak Kyai Wijaya Mukti yang rutin digelar setiap tahun memiliki filosofi untuk mengingatkan setiap pemimpin agar memperhatikan kesejahteraan rakyat, bukan hanya golongannya saja.
"Pusaka ini memiliki filosofi bahwa pemimpin, dalam hal ini kepala daerah harus mampu membawa rakyat agar sejahtera, tidak hanya pemimpinnya saja yang sejahtera tetapi masyarakat harus didahulukan," kata Sekretaris Kawedanan Hageng Panitipuro Keraton Yogyakarta KRT Gondohadiningrat di sela jamasan pusaka Pemerintah Kota Yogyakarta, Jumat.
Oleh karena itu, lanjut dia, untuk selalu mengingatkan agar pemimpin Kota Yogyakarta tidak melupakan tugasnya untuk membawa kesejahteraan bagi warga, maka tombak pun disimpan di ruang kerja milik Wali Kota Yogyakarta.
Sebelum menjadi pusaka milik Pemerintah Kota Yogyakarta, tombak Kyai Wijaya Mukti adalah pusaka milik Keraton Yogyakarta. Pusaka tersebut kemudian diserahkan ke Pemerintah Kota Yogyakarta bertepatan pada peringatan hari ulang tahun ke-53 Pemerintah Kota Yogyakarta pada 7 Juni 2000.
Tombak yang dibuat pada 1921 atau pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VIII itu memiliki panjang tiga meter. Tombak dengan pamor wos wutah wengkon dengan daphur kudhuping gambir ini, memiliki landean (gagang) sepanjang 2,5 meter yang terbuat dari kayu walikukun.
Pada saat jamasan atau pembersihan pusaka, sejumlah abdi dalam hanya melepas untaian melati yang sudah mengering dan menyapukan olesan minyak pusaka di mata tombak dan menyematkan untaian melati yang masih segar.
"Tidak dilakukan pembersihan dengan cairan khusus karena mata tombak masih dalam kondisi baik, tidak ada karat yang menempel. Hanya perlu ditambahkan olesan minyak pusaka saja," katanya.
Sementara itu, Penghageng Paguyuban Abdi Dalem Keprajan Kota Yogyakarta KMT Dirjo Harjo Taruno mengatakan, kegiatan jamasan pusaka perlu terus dilestarikan sebagai bagian dari keistimewaan Yogyakarta.
"Pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta yang juga menjadi abdi dalem keraton perlu ikut aktif melestarikan kebudayaan, seperti jamasan seperti ini," kata Dirjo yang juga menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta.
Sama seperti tahun lalu, kegiatan jamasan pusaka milik Pemerintah Kota Yogyakarta hanya diikuti oleh tombak Kyai Wijaya Mukti, tidak ada pusaka-pusaka milik warga yang ikut dijamas.
"Pusaka ini memiliki filosofi bahwa pemimpin, dalam hal ini kepala daerah harus mampu membawa rakyat agar sejahtera, tidak hanya pemimpinnya saja yang sejahtera tetapi masyarakat harus didahulukan," kata Sekretaris Kawedanan Hageng Panitipuro Keraton Yogyakarta KRT Gondohadiningrat di sela jamasan pusaka Pemerintah Kota Yogyakarta, Jumat.
Oleh karena itu, lanjut dia, untuk selalu mengingatkan agar pemimpin Kota Yogyakarta tidak melupakan tugasnya untuk membawa kesejahteraan bagi warga, maka tombak pun disimpan di ruang kerja milik Wali Kota Yogyakarta.
Sebelum menjadi pusaka milik Pemerintah Kota Yogyakarta, tombak Kyai Wijaya Mukti adalah pusaka milik Keraton Yogyakarta. Pusaka tersebut kemudian diserahkan ke Pemerintah Kota Yogyakarta bertepatan pada peringatan hari ulang tahun ke-53 Pemerintah Kota Yogyakarta pada 7 Juni 2000.
Tombak yang dibuat pada 1921 atau pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VIII itu memiliki panjang tiga meter. Tombak dengan pamor wos wutah wengkon dengan daphur kudhuping gambir ini, memiliki landean (gagang) sepanjang 2,5 meter yang terbuat dari kayu walikukun.
Pada saat jamasan atau pembersihan pusaka, sejumlah abdi dalam hanya melepas untaian melati yang sudah mengering dan menyapukan olesan minyak pusaka di mata tombak dan menyematkan untaian melati yang masih segar.
"Tidak dilakukan pembersihan dengan cairan khusus karena mata tombak masih dalam kondisi baik, tidak ada karat yang menempel. Hanya perlu ditambahkan olesan minyak pusaka saja," katanya.
Sementara itu, Penghageng Paguyuban Abdi Dalem Keprajan Kota Yogyakarta KMT Dirjo Harjo Taruno mengatakan, kegiatan jamasan pusaka perlu terus dilestarikan sebagai bagian dari keistimewaan Yogyakarta.
"Pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta yang juga menjadi abdi dalem keraton perlu ikut aktif melestarikan kebudayaan, seperti jamasan seperti ini," kata Dirjo yang juga menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta.
Sama seperti tahun lalu, kegiatan jamasan pusaka milik Pemerintah Kota Yogyakarta hanya diikuti oleh tombak Kyai Wijaya Mukti, tidak ada pusaka-pusaka milik warga yang ikut dijamas.
Pewarta: Eka Arifa Rusqiyati
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016
Tags: