Saksi: Lippo biayai pencitraan positif Nurhadi
19 Oktober 2016 19:33 WIB
Sekretaris MA Diperiksa 11 Jam Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurrachman (tengah) berjalan usai diperiksa KPK di gedung KPK, Jakarta, Senin (30/5/2016). Nurhadi diperiksa sekitar 11 jam sebagai saksi untuk tersangka Dody Ariyanto Supeno dalam kasus dugaan suap terkait pengajuan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (ANTARA FOTO/Reno Esnir)
Jakarta (ANTARA News) - Saksi dalam sidang panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution menyampaikan bahwa Lippo Grup membayar hingga ratusan juta kepada perusahaan konsultan media untuk melakukan pencitraan positif terhadap Lippo dan mantan Sekretaris MA Nurhadi.
"Tapi saya ingat ada isu seperti pemilihan ketua MA supaya diperlancar dalam arti beberapa pemilihan di MA berlangsung objektif netral, begitu saja," kata Direktur Utama Kobo Media Spirit Stefanus Slamet Wibowo dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Edy Nasution dalam perkara ini didakwa menerima uang Rp1,5 miliar, Rp100 juta, 50 ribu dolar AS dan Rp50 juta untuk mengurus tiga perkara perusahaan Lippo Grup di PN Jakarta Pusat. Penerimaan Rp1,5 miliar ditujukan untuk merevisi penolakan permohonan eksekusi tanah PT Jakarta Baru Cosmopolitan; penerimaan Rp100 juta untuk pengurusan penundaan teguran aanmaning perkara niaga PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP); dan penerimaan 50 ribu dolar AS ditambah Rp50 juta untuk pengurusan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited meski sudah melewati batas waktu.
"Yang minta Pak Paul Montolalu, Pak Paul minta pencitraan unit-unit kerja di Lippo. Pak Paul itu dari First Media dan yang saya tahu First Media masuk perusahaan Lippo," ungkap Slamet.
Perusahaan Slamet bertugas untuk membuat pemberitaan positif atau pencitraan positif apalagi pasca tertangkapnya pegawai PT Artha Pratama Anugerah yang merupakan bagian dari Lippo Grup, Doddy Aryanto Supeno oleh KPK dan dikaitkannya Nurhadi dan Lippo Grup dengan perkara tersebut.
"Jadi ada draft dari teman-teman media yang memberitahu saya bahwa akan ada pemberitaan mengenai Nurhadi yang diperiksa oleh KPK, yang saya lakukan adalah mempersilakan ke media kalau mau memberi data. Lalu yang saya lakukan ke Pak Paul istilahnya mancing. Saya tahu ada kasus ini kemudian menawarkan kepada klien dalam hal ini Paul Montolalu untuk pemberitaan berimbang karena saya sebagai konsultan media punya pandangan sendiri terhadap jalannya sidang, ada bagian-bagian yang tidak diangkat media dalam perkara Doddy, kalau Pak Paul mau bisa hire saya sebagai konsultan," jelas Slamet.
Slamet mengaku punya banyak relasi dengan wartawan di banyak media terutama media cetak. Slamet selanjutnya mengirimkan proposal kepada Paul dengan mendaftarkan nama-nama media cetak yang ia sasar untuk membuat pencitraan positif terhadap isu Lippo Grup dan Nurhadi.
Dari kiriman surat elektronik yang ditunjukkan jaksa di persidangan, media cetak tersebut misalnya adalah Bisnis Indonesia, Kontan, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Republika, Jakarta Post, koran Tempo, majalah Tempo, majalah Gatra, majalah Sindo, majalah Review, majalah Forum, Rakyat Merdeka, Neraca, Koran Jakarta dan Indopos dengan nominal angka di masing-masing media dari 450 hingga 650.
"Tiap media jasanya berbeda, tergantung berapa persen komisi yang mau saya ambil dari satu media, dan angka 450 itu dalam jutaan rupiah," ungkap Slamet.
Jumlah tersebut kemudian diberikan kepada tim yang ia sebut "pawang".
"Proposal itu ditawarkan ke pawang, yaitu tim saya yang mengaku bisa menghandle media dengan biaya-biaya seperti itu, jadi uang dari saya ke pawang, dan pawang mengaku didistribuskan ke media," jelas Slamet.
Setidaknya sudah Rp600 juta yang dikeluarkan Paul sejak periode 1 Mei hingga 31 Juli 2016 sedangkan pada periode 2010-2015 mencapai Rp10-15 miliar.
"Nilai yang di proposal tidak semuanya disetujui, kalau disetujui belum tentu dibayar, dan kalau disetujui dan periodenya sudah habis bisa saja client minta diskon. Tagihan saya sekitar 5-6 bulan itu Rp600 juta, tapi angka dari Rp600 juta ke pawang tidak semuanya saya berikan karena saya menjalankan fungsi marketing karena saya sendirian jadi saya berhak menentukan fee management untuk saya," ungkap Slamet.
Diduga, uang Rp100 juta yang untuk pengurusan aanmaning PT AAL juga mengalir ke Slamet.
Dalam perkara ini, Edy Nasution diancam pidana dalam pasal 12 huruf a atau pasal 12 B UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 65 ayat 1 KUHP yang mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Baca: KONTAN bantah terlibat proyek pencitraan Lippo Group
(T.D017/T007)
"Tapi saya ingat ada isu seperti pemilihan ketua MA supaya diperlancar dalam arti beberapa pemilihan di MA berlangsung objektif netral, begitu saja," kata Direktur Utama Kobo Media Spirit Stefanus Slamet Wibowo dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Edy Nasution dalam perkara ini didakwa menerima uang Rp1,5 miliar, Rp100 juta, 50 ribu dolar AS dan Rp50 juta untuk mengurus tiga perkara perusahaan Lippo Grup di PN Jakarta Pusat. Penerimaan Rp1,5 miliar ditujukan untuk merevisi penolakan permohonan eksekusi tanah PT Jakarta Baru Cosmopolitan; penerimaan Rp100 juta untuk pengurusan penundaan teguran aanmaning perkara niaga PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP); dan penerimaan 50 ribu dolar AS ditambah Rp50 juta untuk pengurusan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited meski sudah melewati batas waktu.
"Yang minta Pak Paul Montolalu, Pak Paul minta pencitraan unit-unit kerja di Lippo. Pak Paul itu dari First Media dan yang saya tahu First Media masuk perusahaan Lippo," ungkap Slamet.
Perusahaan Slamet bertugas untuk membuat pemberitaan positif atau pencitraan positif apalagi pasca tertangkapnya pegawai PT Artha Pratama Anugerah yang merupakan bagian dari Lippo Grup, Doddy Aryanto Supeno oleh KPK dan dikaitkannya Nurhadi dan Lippo Grup dengan perkara tersebut.
"Jadi ada draft dari teman-teman media yang memberitahu saya bahwa akan ada pemberitaan mengenai Nurhadi yang diperiksa oleh KPK, yang saya lakukan adalah mempersilakan ke media kalau mau memberi data. Lalu yang saya lakukan ke Pak Paul istilahnya mancing. Saya tahu ada kasus ini kemudian menawarkan kepada klien dalam hal ini Paul Montolalu untuk pemberitaan berimbang karena saya sebagai konsultan media punya pandangan sendiri terhadap jalannya sidang, ada bagian-bagian yang tidak diangkat media dalam perkara Doddy, kalau Pak Paul mau bisa hire saya sebagai konsultan," jelas Slamet.
Slamet mengaku punya banyak relasi dengan wartawan di banyak media terutama media cetak. Slamet selanjutnya mengirimkan proposal kepada Paul dengan mendaftarkan nama-nama media cetak yang ia sasar untuk membuat pencitraan positif terhadap isu Lippo Grup dan Nurhadi.
Dari kiriman surat elektronik yang ditunjukkan jaksa di persidangan, media cetak tersebut misalnya adalah Bisnis Indonesia, Kontan, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Republika, Jakarta Post, koran Tempo, majalah Tempo, majalah Gatra, majalah Sindo, majalah Review, majalah Forum, Rakyat Merdeka, Neraca, Koran Jakarta dan Indopos dengan nominal angka di masing-masing media dari 450 hingga 650.
"Tiap media jasanya berbeda, tergantung berapa persen komisi yang mau saya ambil dari satu media, dan angka 450 itu dalam jutaan rupiah," ungkap Slamet.
Jumlah tersebut kemudian diberikan kepada tim yang ia sebut "pawang".
"Proposal itu ditawarkan ke pawang, yaitu tim saya yang mengaku bisa menghandle media dengan biaya-biaya seperti itu, jadi uang dari saya ke pawang, dan pawang mengaku didistribuskan ke media," jelas Slamet.
Setidaknya sudah Rp600 juta yang dikeluarkan Paul sejak periode 1 Mei hingga 31 Juli 2016 sedangkan pada periode 2010-2015 mencapai Rp10-15 miliar.
"Nilai yang di proposal tidak semuanya disetujui, kalau disetujui belum tentu dibayar, dan kalau disetujui dan periodenya sudah habis bisa saja client minta diskon. Tagihan saya sekitar 5-6 bulan itu Rp600 juta, tapi angka dari Rp600 juta ke pawang tidak semuanya saya berikan karena saya menjalankan fungsi marketing karena saya sendirian jadi saya berhak menentukan fee management untuk saya," ungkap Slamet.
Diduga, uang Rp100 juta yang untuk pengurusan aanmaning PT AAL juga mengalir ke Slamet.
Dalam perkara ini, Edy Nasution diancam pidana dalam pasal 12 huruf a atau pasal 12 B UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 65 ayat 1 KUHP yang mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Baca: KONTAN bantah terlibat proyek pencitraan Lippo Group
(T.D017/T007)
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016
Tags: