Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengaku terdapat banyak pungutan liar terjadi di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta sehingga diperlukan kerja sama sejumlah pihak untuk memperbaiki kondisi tersebut.
"Dari apa yang kita kaji di Tanjung Priok, banyak sekali pungli. Ada juga oknum dari Bea Cukai maupun dari aparat penegak hukum yang melindungi pengimpor. Kita akan bicara ke depan, pembenahan sistem, bagaimana sistem importasi dan pungutan Bea Cukai jadi ekefektif agar produk dalam negeri tidak terganggu, tidak ada disparitas harga mencolok, masyarakat terlindungi, itu yang kami bahas tadi," kata Alexander Marwata di gedung KPK Jakarta, Selasa.
Alexander mengatakan hal itu dalam diskusi yang dihadiri oleh Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Kiagus Ahmad Badaruddin, Direktur Jenderal (Dirjen) Bea Cukai Heru Pambudi dan sejumlah pejabat Kemenkeu lainnya.
"Banyak hal yang kita temui, ada oknum Bea Cukai, aparat penegak hukum yang berada di belakang pengusaha tadi, itu fakta, yang jadi persoalan bagaimana kita membenahi itu. Kami tadi memanggil pihak terkait importasi, kebapeanan, pertaninan, perhubungan, kami undang juga kepolisian, TNI, mereka yang bertanggungjawab terhadap dalam pengamanan kepabeanan. Tujuangnya, supaya ke depan mampu membenahi yang selama ini salah. Kita minta dukungan," ungkap Alexander.
Namun menurut Alexander, dalam diskusi itu tidak dibahas orang tertentu atau pengusaha nakal melainkan identifikasi masalah untuk membuat program pencegahan.
Menurut Irjen Kemenkeu Kiagus Ahmad Badaruddin, sistem yang ada saat ini masih harus disempurnakan.
"Kami di Pengawas Internal Keuangan menyangkut masalah bea cukai ini ada dua aspek pertama internal, telah berikan arahan ke dirjen untuk menyempurnakan sistem dan evaluasi dan Irjen selaku Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) membantu monitoring. Sedangkan dari eksternal kami sedang berusaha untuk mencari solusinya. KPK sudah mengkaji dan mengundang pihak terkait," kata Kiagus.
Sejumlah rekomendasi yang diberikan KPK antara lain (1) Perbaikan jalur impor ilegal melalui impor resmi, (2) Mengatasi penyelundupan lewat pelabuhan tikus dengan melanjutkan operasi penindakan yang didukung TNI/Polri.
Sementara Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi menilai impor ilegal disebabkan oleh sejumlah faktor yang penyelesaiannya harus melibatkan banyak pihak yaitu regulator dengan banyaknya regulasi yang mencapai sekitar 198 regulasi, pelaku bisnis itu sendiri dan aparat penegak hukum.
"Kondisi ini secara kualitatif akan merugikan industri dalam negeri. Tujuan pemberantasan produk ilegal ini tak hanya terkait fiskal saja tapi bagaimana bisa memberikan ruang yang adil bagi industri dalam negeri. Bagaimana kita mendorong industri dalam negeri jadi pemain di rumah sendiri," ungkap Heru.
Pemerintah saat ini memang sedang gencar memberantas pungli khususnya dalam sistem distribusi barang produksi dalam negeri.
Pada 11 Oktober 2016 lalu, Satuan Tugas Penindakan Pungutan Liar dari kepolisian menangkap lima pegawai Kementerian Perhubungan terdiri atas dua pegawai negeri sipil, tiga pegawai honorer, dan satu pihak luar dari swasta yang diduga terlibat tindakan pungutan liar (pungli) pengurusan izin dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Polisi juga menyita barang bukti uang tunai Rp61 juta dari lantai 12 Gedung Karya Kemenhub dan Rp34 juta dari lantai 6 Gedung Karya Kemenhub. Selain uang tunai diduga untuk pungli, polisi juga menyita buku tabungan yang diduga merupakan rekening untuk dana pungli dengan saldo Rp1 miliar.
Pungli tersebut ditujukan untuk memudahkan pengurusan surat atau lisensi pelaut dan buku pelaut. Presiden Joko Widodo bahkan sempat meninjau langsung lokasi OTT di Jalan Medan Merdeka Barat tersebut.
Pasca OTT itu, Presiden Jokowi membentuk Satuan Tugas Sapu Bersih Pungli (Satgas Saber Pungli) untuk memberantas praktik pungli yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto.
Alexander Marwata: banyak pungli terjadi di Tanjung Priok
18 Oktober 2016 18:21 WIB
Alexander Marwata (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016
Tags: