Masyarakat Filipina lebih percaya Amerika Serikat ketimbang China
18 Oktober 2016 15:02 WIB
Dokumentasi Presiden Amerika Serikat, Barack Obama (kiri), bersama Presiden Filipina (saat itu), Benigno S Aquino III (kanan), pada KTT Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik, di Manila, Filipina, Kamis (19/11). Benigno III digantikan Rodrigo Duterte yang memiiki gaya dan kebijakan pemerintahan berbeda. (ANTARA FOTO/R Rekotomo)
Manila (ANTARA News) - Masyarakat Filipina masih lebih memercayai Amerika Serikat daripada China, kata jajak pendapat, Selasa, meskipun Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, berpidato anti-Amerika dan bergerak tiba-tiba ke arah Beijing.
Meskipun kepercayaan kepada kedua negara itu sedikit turun sejak jajak pendapat sebelumnya pada Juni, jajak pendapat Social Weather Stations (SWS) pada 24 hingga 27 September menunjukkan, 55 persen warga Filipina "sedikit percaya" kepada China berbanding 11 persen memiliki keraguan terhadap Amerika Serikat.
Hanya sedikit di atas tigaperempat, atau 76 persen, dari 1.200 petanggap memiliki "kepercayaan tinggi" kepada Amerika Serikat, berbanding 22 persen yang menaruh kepercayaan kepada China. Jajak pendapat itu tidak meminta petanggap menjelaskan pandangan mereka.
Duterte mengunjungi China pada Selasa, bersama dengan sejumlah perwakilan usaha, setidaknya 200 orang, saat dia berusaha membuka kerjasama perdagangan baru dengan Beijing, yang dia sebut ditujukan untuk meningkatkan perekonomian Filipina dan menyeragamkan kebijakan luar negeri, yang selama ini bergantung pada Washington.
Dia mencela sekutu lama dan mantan penjajah itu serta mempertanyakan kesetiaannya. Dia mengeluh bahwa dia didikte terkait perang terhadap narkoba miliknya oleh Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, yang dia sebut "pergilah ke neraka".
Pada minggu lalu, Duterte menyebut Obama, Uni Eropa, dan PBB dengan sebutan "bodoh" karena mengkritik tindakan kerasnya terhadap narkoba, dan mengatakan bahwa dia akan "mempermalukan" mereka jika mereka menerima undangannya untuk menyelidiki tuduhan eksekusi.
Sejumlah warga Amerika Serikat di Filipina mengatakan, aksi Duterte itu telah membuat warga negara dan sejumlah bisnis Amerika Serikat gelisah.
Jajak pendapat terakhir oleh SWS menunjukkan, tingkat kepercayaan tinggi terhadap Amerika Serikat sebesar 81 persen dibandingkan sembilan persen yang "sedikit percaya". Perasaan terhadap China lebih baik pada saat itu, dengan 27 persen meyakini dan 51 persen kurang meyakininya.
Jajak pendapat itu, yang dilakukan setelah terpilihnya Duterte namun sebelum mulai menjabat, didahului keputusan dari Mahkamah Arbitrase Internasional pada Juli lalu, di Den Haag, yang memberikan pukulan terhadap klaim luas China terhadap Laut China Selatan, dalam sebuah kasus yang diajukan oleh Manila.
China menolak untuk mengakui keputusan itu.
Dalam tanggapan diperkirakan menyinggung kepemimpinan China, Duterte mengatakan bahwa perubahan kebijakan luar negerinya menunjukkan sebuah perubahan dalam hubungan antara Filipina dengan China, namun dia tidak akan melakukan tawar-menawar terkait kedaulatan lautnya dan akan mengangkat isu keputusan itu.
Kekasaran Duterte terhadap Amerika Serikat dan pengadilan terhadap China, telah membingungkan komunitas internasional.
Sejumlah pakar mengatakan, keputusan sepihaknya mempertimbangkan penyingkiran persekutuan pertahanan Amerika Serikat memberikan ancaman terhadap wilayah, yang khawatir akan peningkatan pengaruh Beijing, dan kemungkinan pemudaran pengaruh Amerika Serikat di bawah kepemimpinan baru Gedung Putih.
Meskipun kepercayaan kepada kedua negara itu sedikit turun sejak jajak pendapat sebelumnya pada Juni, jajak pendapat Social Weather Stations (SWS) pada 24 hingga 27 September menunjukkan, 55 persen warga Filipina "sedikit percaya" kepada China berbanding 11 persen memiliki keraguan terhadap Amerika Serikat.
Hanya sedikit di atas tigaperempat, atau 76 persen, dari 1.200 petanggap memiliki "kepercayaan tinggi" kepada Amerika Serikat, berbanding 22 persen yang menaruh kepercayaan kepada China. Jajak pendapat itu tidak meminta petanggap menjelaskan pandangan mereka.
Duterte mengunjungi China pada Selasa, bersama dengan sejumlah perwakilan usaha, setidaknya 200 orang, saat dia berusaha membuka kerjasama perdagangan baru dengan Beijing, yang dia sebut ditujukan untuk meningkatkan perekonomian Filipina dan menyeragamkan kebijakan luar negeri, yang selama ini bergantung pada Washington.
Dia mencela sekutu lama dan mantan penjajah itu serta mempertanyakan kesetiaannya. Dia mengeluh bahwa dia didikte terkait perang terhadap narkoba miliknya oleh Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, yang dia sebut "pergilah ke neraka".
Pada minggu lalu, Duterte menyebut Obama, Uni Eropa, dan PBB dengan sebutan "bodoh" karena mengkritik tindakan kerasnya terhadap narkoba, dan mengatakan bahwa dia akan "mempermalukan" mereka jika mereka menerima undangannya untuk menyelidiki tuduhan eksekusi.
Sejumlah warga Amerika Serikat di Filipina mengatakan, aksi Duterte itu telah membuat warga negara dan sejumlah bisnis Amerika Serikat gelisah.
Jajak pendapat terakhir oleh SWS menunjukkan, tingkat kepercayaan tinggi terhadap Amerika Serikat sebesar 81 persen dibandingkan sembilan persen yang "sedikit percaya". Perasaan terhadap China lebih baik pada saat itu, dengan 27 persen meyakini dan 51 persen kurang meyakininya.
Jajak pendapat itu, yang dilakukan setelah terpilihnya Duterte namun sebelum mulai menjabat, didahului keputusan dari Mahkamah Arbitrase Internasional pada Juli lalu, di Den Haag, yang memberikan pukulan terhadap klaim luas China terhadap Laut China Selatan, dalam sebuah kasus yang diajukan oleh Manila.
China menolak untuk mengakui keputusan itu.
Dalam tanggapan diperkirakan menyinggung kepemimpinan China, Duterte mengatakan bahwa perubahan kebijakan luar negerinya menunjukkan sebuah perubahan dalam hubungan antara Filipina dengan China, namun dia tidak akan melakukan tawar-menawar terkait kedaulatan lautnya dan akan mengangkat isu keputusan itu.
Kekasaran Duterte terhadap Amerika Serikat dan pengadilan terhadap China, telah membingungkan komunitas internasional.
Sejumlah pakar mengatakan, keputusan sepihaknya mempertimbangkan penyingkiran persekutuan pertahanan Amerika Serikat memberikan ancaman terhadap wilayah, yang khawatir akan peningkatan pengaruh Beijing, dan kemungkinan pemudaran pengaruh Amerika Serikat di bawah kepemimpinan baru Gedung Putih.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016
Tags: