Yogyakarta (ANTARA News) - Perombakan (reshuffle) kabinet Indonesia Bersatu yang diisyaratkan Wapres Jusuf Kalla baru-baru ini, diperkirakan akan "mengorbankan" (mengganti) para menteri yang memiliki dukungan politik lemah sehingga kemungkinan resistensi dan konflik yang ditimbulkan juga kecil. Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Ari Dwipayana, di Yogyakarta, Sabtu, mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap akan memperhitungkan basis politik dalam mengganti sejumlah menterinya karena kabinetnya juga dibentuk melalui negosiasi politik dengan partai pendukungnya. Langkah itu diambil karena pemilihan kabinet di Indonesia pada kenyataannya adalah semi parlementer, bukan sepenuhnya menjadi hak prerogatif presiden, katanya. "Perombakan menteri hanya untuk mengakomodasi kepentingan politik Partai Golkar. Saat ini hanya sedikit kader Golkar yang ditempatkan dalam kabinet padahal Golkar selama ini terbukti dapat menjadi `bamper` pada setiap kebijakan yang dibuat presiden," katanya. Tetapi untuk merealisasikannya, Presiden Yudhoyono tidak pernah mendapat momentum yang tepat hingga masalah kesehatan Menteri Dalam Negeri M Ma`ruf sekarang menjadi semacam pembenaran sebagai alasan pelaksanaan reshuffle. Peran kekuatan politik juga terlihat dengan masih bertahannya Hatta Rajasa sebagai Menteri Perhubungan meski tuntutan mundur dari arus bawah sangat kuat. Ia menyatakan yakin, Presiden tidak akan gegabah dengan mengambil langkah untuk menggantinya. "Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai pengusung Hatta pasti akan membuat perhitungan politik pula jika dia diganti," katanya. Karena itu, kata dia, saat ini anggota kabinet yang menduduki jabatan itu bukan dari kalangan partai, pantas khawatir. Kekhawatiran itu oleh beberapa menteri yang masuk golongan ini sudah mulai diantisipasi dengan berlomba mencari simpati masyarakat, misalnya dengan membeberkan prestasi yang telah diraihnya. "Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, `mengumumkan` prestasinya saat terpilih menjadi Menteri Keuangan Terbaik di kawasan Asia 2006 oleh harian Emerging Markets," katanya. Dengan pertimbangan politik seperti ini, kata dia, reshuffle yang isunya selalu terdengar pada awal tahun, tidak akan membantu presiden menyelesaikan sisa masa tugasnya dengan baik. "Saat ini yang dibutuhkan adalah pemerintahan yang efektif seperti yang dijanjikan Presiden Yudhoyono pada awal tahun lalu," katanya. Pemerintahan efektif, kata dia, adalah pemerintahan yang dapat memastikan bahwa kebijakan yang dibuat dapat berjalan baik. "Dengan cara itu, paling tidak akan mampu menambal `kapal` supaya tidak karam sampai tujuan," katanya. (*)