Kiki sibuk memerhatikan gerakan enam orang rekannya mengikuti irama lagu
"Cinta Negeriku" dari Chrisye. Matanya awas melihat kekompakan tarian
dengan ketukan lagu meski musik hanya berasal dari gumaman mulut.
"Tarian ini adalah gabungan dari tiga daerah yaitu Bali, Betawi dan
Aceh yang digabung menjadi satu dengan durasi sekitar empat menit. Saya
bukan benar-benar menciptakan gerakan tarian ini tapi hanya
menyambungkan gerakan-gerakan yang sudah saya ketahui sebelumnya," kata
Kiki yang punya latar belakang sekolah seni.
Kiki dan teman-temannya sesama warga binaan rumah tahanan Pondok
Bambu Jakarta Timur mempersiapkan tarian itu untuk pentas seni di
"Jambore Narapidana untuk Kemanusiaan" yang digelar pada 12-14 Oktober
2016 di Sarana Olahraga Merdeka Garut, Jawa Barat.
"Saya senang dengan acara ini karena diberikan kesempatan untuk
peduli terhadap sesama, inginnya setiap tahun ada karena kami juga
manusia walaupun berada di balik penjara," kata Kiki.
Jambore narapidana ini ditambahi atribut "untuk Kemanusiaan" karena
para narapidana dan tahanan yang ikut selain menampilkan kebolehan
mereka sebagai anggota Pramuka dan pertunjukan seni, juga membantu warga
korban banjir bandang di Garut pada September lalu.
Para
narapidana juga ikut membantu memperbaiki SLB Dharma Karyadhika yang
rusak, membantu pengobatan gratis di Rusunawa Bayongbong, tempat warga
Garut yang terdampak banjir mengungsi, ikut mengecat Sarana Olahraga
Merdeka, menanam bibit pohon mahoni dan trembesi hingga memecahkan rekor
MURI untuk jambore narapidana demi kemanusiaan dengan peserta
terbanyak.
Para narapidana yang mengikuti jambore berasal dari 38 Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Lembaga Pemasyarakatan di DKI Jakarta, Banten,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Riau.
Mereka
antara lain dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Surabaya, Sumedang,
Malang, Serang, Cipinang, Tasikmalaya, Sukamiskin, Bandung, Garut,
Cipinang, Bancey, Purwakarta, dan Blitar.
Selama jambore 339 petugas Lapas, rumah tahanan, balai pemasyarakatan, TNI dan Polri menjaga mereka.
Mereka yang ikut jambore sebelumnya sudah diseleksi oleh tim sesuai
dengan syarat-syarat yang sudah ditetapkan seperti sudah menjalani
setengah masa pidana, tidak kena hukuman disiplin, tidak berniat untuk
melarikan diri dan mengikuti kegiatan kepramukaan di Lapas.
Curhat Narapidana
Meski mengaku senang mengikuti Jambore tersebut, namun para
narapidana mengaku tetap tidak puas dengan apa yang dilakukan pemerintah
terhadap mereka di dalam lembaga pemasyarakatan.
"Saya sudah enam tahun di penjara, tidak pernah dibina, yang kami
minta pembinaan berdasarkan latar belakang pidana, yang kita lakukan di
LP hanya olahraga, itu bukan pembinaan itu kegiatan hari-hari yang kita
lakukan untuk mengisi kekosongan tapi pembinaan yang dilakukan untuk
memperbaiki hubungan kita dengan masyarakat tidak ada," kata Jefferson
Soleiman Montesqieu Rumajar alias Jefferson, salah satu peserta jambore.
Berpakaian pramuka lengkap dengan berbagai emblem dan topi Pramuka
pembina, tas pinggang merek Prada dan sepatu kets bertuliskan "Adidas",
mantan Wali Kota Tomohon itu masih tampil necis dan gagah.
Jefferson adalah terpidana kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kota Tomohon 2006-2008 yang merugikan keuangan negara
senilai Rp33,7 miliar sehingga Jefferson divonis penjara selama 9 tahun
pada 10 Mei 2011.
Dia juga divonis bersalah melakukan korupsi
penggunaan dana Pemerintah Kota Tomohon 2009-2010 yang merugikan
keuangan negara senilai Rp70 miliar dan divonis 4,5 tahun penjara.
Jefferson yang saat ini menghuni Lapas Sukamiskin Bandung merupakan
Wali Kota Tomohon periode 2005-2010 dan kembali terpilih pada periode
2010-2015.
Ia bahkan sudah dilantik menjadi Wali Kota periode
kedua meski sudah ditahan KPK dan sedang menjalani persidangan kasusnya
yang pertama.
"Kita kan disebut musuh masyarakat, sampah masyarakat, tugas negara
mempertemukan kembali, merekonsiliasi kita dengan rakyat. Itu yang kita
minta," katanya.
"Sampai sekarang belum ada itu. Bagi kami warga
binaan yang ada di lapas untuk Tipikor program pembinaannya adalah kerja
sosial, itu yang penting," kata Jefferson.
Jefferson pun mengatakan bahwa bagi pelaku tindak pidana korupsi,
penting agar masyarakat melihat mereka sudah bertobat demi melakukan
rekonsiliasi untuk kembali ke masyarakat.
"Kita melakukan kerja sosial dalam proses pembinaan menuju ke
asimilasi, pembebasan bersyarat dan sudah ada hubungan dengan masyarakat
sekitar dalam rangka memperbaiki hubungan," katanya.
"Itu kan
yang penting bagaimana masyarakat melihat kita sudah bertobat, sudah
menyadari kesalahan. Kan sudah tidak bisa korupsi lagi di penjara.
Korupsi itu kan soal jabatan, begitu jabatan dicabut, kita tidak bisa
korupsi."
Ia pun tidak keberatan harus melakukan kerja sosial sebagai hukuman karena sudah melakukan korupsi.
"Saya justru tawarkan ekstrem, hukuman badan kita lakukan tapi
pembinaannya kerja sosial. Saya tetap di dalam tapi kita kerja sosial
supaya kalau sudah keluar tidak lagi jadi koruptor. Tidak apa-apa
ditunjukkan bekas Wali Kota Tomohon lagi bersih-bersih sampah, saya
siap, asal bukan dalam konteks pembinaan, bukan penghukuman karena sudah
selesai," jelas Jefferson.
Jefferson pun mengaku bahwa saat ini aktif di Pramuka sebagai
pembina Gugus Darma yang ikut membina kegiatan pramuka di Lapas lain
seperti Lapas Cilegon dan Banceuy.
"Kasihan teman-teman yang lain, mereka kalau bebas susah cari
pekerjaan, pulang ke kampung repot, di komunitas ditolak. Ketika kita
keluar kan tidak mau jadi pencuri, paling jadi tokoh masyarakat, paling
kalau pulang begitu. Lagi pula saya mundur seusai dilantik, jadi SK
pemberhentian saya ditulis 'dengan hormat' sehingga sampai saat ini saya
juga masih mendapat pensiun," ungkap Jefferson.
Lain lagi Tina yang bersal dari Lapas Perempuan Bandung. Ia divonis
19 tahun penjara karena kasus narkotika dan sudah menjalani masa hukuman
sejak 2011.
"Yang ingin saya tanyakan seharusnya saya mendapat remisi dasawarsa
pada 2015, tapi kenapa sampai saat ini saya tidak memperoleh remisi itu?
Begitu pula teman-teman lain yang seharusnya mendapatkan remisi
dasawarsa kunjung mendapat remisi itu," kata Tina.
Tan Hok Liang alias Anton Medan selaku mantan narapidana yang
memberikan ceramah dalam jambore tersebut ikut memberikan penguatan
kepada para narapidana yang masih harus menjalani masa tahanan.
"Acara ini adalah jawaban bagi masyarakat bahwa para napi punya
kepedulian dan bisa melakukan asimilasi. Persoalannya sekarang banyak
napi yang mengeluhkan PP 99 Tahun 2012," katanya.
Peraturan
pemerintah itu, menurut dia, dibuat tanpa pengkajian terhadap Lapas
karena sistem pemasyarakatan sejak 27 April 1967 sudah diubah dari
sistem pemenjaraan jadi sistem pemasyarakatan.
"Namun dengan PP ini segala kebaikan yang dilakukan napi tidak berlaku untuk mendapat remisi dan harus menjadi Justice Collaborator.
Kalau demikian fungsi lembaga pemasyarakatan tidak normal dan potensi
keributan besar," ungkap Anton Medan, yang pernah menjalani hukuman
penjara 18 tahun tujuh bulan.
Peraturan pemerintah tersebut memperketat aturan untuk mendapatkan
remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi, narkoba,
terorisme, kejahatan hak asasi manusia berat serta kejahatan
transnasional dan telah membayar lunas uang pengganti serta denda sesuai
dengan perintah pengadilan.
Menjawab Kegelisahan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly
bukannya tidak mengerti dengan kegelisahan-kegelisahan para narapidana
tersebut.
Ia berulang kali menegaskan bahwa meski para
narapidana berada di balik jeruji besi, namun hal itu tidak memasung
kreativitas para warga binaan.
"Jambore untuk kemanusiaan ini akan diagendakan sebagai kegiatan
nasional untuk menunjukkan ke masyarakat walau warga binaan berada di
balik tembok dingin tapi bisa memberikan bantuan kemanusiaan dan peduli
kepada masyarakat," katanya.
"Kita tidak boleh menutupi mata
atas kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan, mereka harus diberi bekal
hidup cukup bukan hanya keterampilan tapi juga kepribadiannya," kata
Yasonna saat acara pembukaan Jambore pada Kamis (13/10).
Yasonna mengatakan narapidana sudah selayaknya diperlakukan sebagai pribadi yang bermartabat.
"Anak-anakku, jangan kecut hati dan patah semangat, tunjukkan diri
kalian masih berguna. Berkali-kali saya sampaikan bahwa warga binaan
berhak atas remisi, pembebasan bersyarat, cuti jelang bebas, dan
dikunjungi keluarga karena kita tidak bisa menutup diri atas
kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan sepanjang menjalani masa hukuman.
Kami juga akan me-review kunjungan bagi anak-anak pada hari Minggu," katanya.
Menurut Yasonna, saat ini pemerintah sedang menyusun revisi Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Revisi itu berpedoman pada keadilan
restoratif sehingga pelaksanaan hukum tidak semata-mata menghukum tapi
mengikutkan reintegrasi sosial para narapidana kembali ke masyarakat.
"Dalam Jambore warga binaan benar-benar menunjukkan keterampilan dan
kesungguhan sehingga tidak perlu berlebihan mengawasi mereka. Mereka
dibiarkan tidur di tenda. Ini menunjukkan perspektif pembinaan dilakukan
bukan hanya dalam perspektif yang terus-terusan menghukum. Hal ini
tidak perlu lagi. Kadang ada kecenderungan politis untuk hal ini dan
paradigma ini harus kita tinggalkan," tegas Yasonna.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan I Wayan K Dusak menyatakan bahwa
kegiatan kepramukaan ini diharapkan juga menambah semangat para
narapidana.
"Latihan pramuka itu supaya mereka gembira dan tidak bersedih, tiap
kelompok diminta membuat yel-yel untuk membangkitkan semangat mereka ya
harapannya supaya mereka melakukan kegiatan positif dalam menjalani masa
hukuman," kata Dusak.
Para narapidana dan tahanan memang sesungguhnya membutuhkan
pembinaan baik dari sisi keterampilan maupun kepribadian agar selepas
masa hukuman, mereka dapat kembali menjadi masyarakat.
Namun
pembinaan dari pemerintah sebaiknya jangan bersifat jangka pendek,
sekadar memenuhi target penyerapan anggaran, melainkan sungguh-sungguh
punya konsep berkepanjangan.
Jambore narapidana bukan sekadar hore-hore
14 Oktober 2016 18:35 WIB
Kegiatan Jambore Narapidana untuk Kemanusiaan di Lapangan Merdeka Garut, Jawa Barat, 12-14 Oktober 2016. (ANTARA News/Desca Lidya Natalia)
Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016
Tags: