Laiknya filosofi Hamemayu Hayuning Buwana, World Culture Forum, pun bertujuan untuk memperindah keindahan dunia melalui pendekatan budaya.



Bali, 14 Oktober 2016 (Antara) -- Pertunjukan tari kolaboratif yang disajikan para peserta International Folk Dance Festival (IFDF) beserta sejumlah seniman lokal, yang salah satunya adalah Ayu Laksmi, sukses ‘menyihir’ para peserta World Culture Forum (WCF) 2016, saat mengakhiri gala dinner di Plenary Hall, Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Nusa Dua. Tarian yang diberi nama “Hamemayu Hayuning Buwana” ini adalah tarian ciptaan koreografer ternama Indonesia, Bimo Wiwohatmo.

Hamemayu hayuning buwana adalah nilai luhur tentang kehidupan dari kebudayaan Jawa. Kata ini memiliki makna “Untuk memperindah keindahan dunia”, yang juga dapat berarti upaya melindungi keselamatan dunia baik lahir maupun batin. Nilai luhur inilah yang ingin dibagikan Indonesia, selaku tuan rumah WCF 2016, kepada masyarakat dunia melalui forum budaya dunia tersebut.

Lebih dari 1500 orang telah terlibat dalam forum budaya terbesar di dunia ini sejak 4 Oktober, melalui penyelenggaraan IFDF, yang dilanjutkan dengan keterlibatan generasi muda dari berbagai melalui International Youth Forum (IYF), dan simposium-simposium budaya. Selama dua hari, para peserta dari seluruh negara telah saling bertukar pikiran, pendapat, dan usulan, melalui ruang-ruang simposium yang mengangkat isu-isu penting dalam pembangunan di dunia yang berkelanjutan.

Simposium 1 banyak menyoroti bagaimana budaya menjadi penjaga alam dan desa dari segala kerusakan yang mengancam keberlangsungannya. “Kami menentang ekonomi yang merusak alam. Merusak alam berarti merusak tradisi. Kami sudah berjanji bahwa kami hanya menjual yang dapat kami buat,” ungkap salah satu pembicara, Aleta Baun, aktivis lingkungan asal Nusa Tenggara Timur, pada pertemuan tersebut.

Simposium 2 membicarakan tentang air untuk kehidupan yang mengikat struktur sosial kehidupan sehari-hari. Para pembicara simposium ini menjabarkan tentang peran air dalam kehidupan manusia dan kaitannya dengan budaya adat setempat.

Simposium 3 mengusung tema ;Menjalin Sejarah, Ruang Kota, dan Gerakan Budaya'. Pada simposium ini didiskusikan pentingnya integrasi sejarah dan budaya untuk pembangunan berkelanjutan. Salah seorang pembicara, Shahbaz Khan, direktur UNESCO Jakarta, menegaskan jika budaya bukanlah tentang monumen semata, yang berfungsi sebagai tautan kepada sejarah dan budaya. Namun esensinya adalah kearifan-kearifan lokal di dalamnya. Maka dari itu, kita harus bersyukur karena hidup di planet yang indah ini. “Karena itulah bumi ini harus inklusif untuk semua orang,” ungkap Shahbaz

Simposium 4 mengangkat tema 'Kebudayaan dalam Dunia Digital Baru'. Teknologi sebagai cara baru dalam memperlakukan kebudayaan menjadi pokok dari ulasan keempat pembicara. Kebudayaan dapat dilihat dengan perspektif lain dengan dukungan teknologi, bukan lagi sesuatu yang kuno dan kaku tapi bisa menjadi sesuatu yang menarik.

Simposium 5 membahas menganai isu-isu pembangunan yang berkaitan dengan hubungan negara, masyarkat dan budaya. Di akhir forum, disimpulkan isu kebudayaan yang harus diperhatikan demi terwujudnya pembangunan; pentingnya solidaritas, pemaknaan kearifan lokal, merubah perspektif tentang golongan yang termarjinalkan, menghilangkan budaya perang, serta membangun hubungan dan dialog.

Simposium 6 bertemakan 'Keragaman Budaya Untuk Pembangunan Yang Bertanggung Jawab'. Para pembicara yang hadir dalam simposium ini adalah para ahli yang memahami bidang tersebut. Simposium ini berdiskusi mengenai isu-isu keragaman budaya yang semakin menjadi kondisi nyata di banyak tempat.

Selain simposium-simposium diatas, terjalin pula kerjasama-kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara-negara lain seperti Selandia baru dan Republik Islam Iran. Kerjasama dengan Selandia baru berisikan tentang pengiriman pegiat budaya Indonesia ke Selandia Baru, sedangkan kerjasama Indonesia dengan Republik Islam Iran adalah pertukaran pelajar, riset bersama, pengembangan perpustakaan, dan kerjasama di bidang lainnya.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berpesan, dengan adanya Sustainable Development Goals agar menjunjung kebudayaan. “Sekaranglah waktunya untuk bekerja, berdiskusi dan berpikir, untuk menyelaraskan irama kebudayaan dan irama pembangunan,” ujar Menteri Muhadjir. Menurutnya, hasil World Culture Forum (WCF) 2016 dapat menjadi komitmen yang lebih mendalam, dan perlu lebih sungguh-sungguh memperhatikan keanekaragaman budaya, agar pusat-pusat pembangunan menjadi lebih inklusif.

“Itulah sebabnya, Republik Indonesia mempersembahkan World Culture Forum kepada dunia. Semoga bersama-sama, pemerintah negara sahabat, sektor swasta, NGO dan IGO, serta kelompok-kelompok masyarakat pemangku kepentingan, kita dapat memastikan World Culture Forum akan terus hadir bagi kemanusiaan, pungkas Mendikbud.

Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, mengutarakan bahwa WCF dirancang sebagai platform yang memberi ruang untuk bertukar pikiran, dapat merekomendasikan cara baru untuk menempatkan budaya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan, saling memahami dan menghormati antara kebudayaan yang berbeda, hingga terciptanya masyarakat “glokal” yang harmoni. Maka apa yang telah terjadi pada forum budaya yang berlangsung di Bali ini merupakan rancang-bangun dari apa yang dicanangkan oleh Indonesia selaku tuan rumah perhelatan akbar tersebut.

Seperti halnya gerakan tari yang memadukan ratusan orang dengan latar belakang negara, bangsa, suku, ras, dan agama yang berbeda, namun tetap merefleksikan suatu keselarasan yang bersatu padu dengan rukun, dibawah payung kebudayaan. Maka Forum Budaya Dunia (WCF) adalah bentuk nyata dari filosofi Hamemayu Hayuning Buwana, yang diharapkan dapat memperindah keindahan dunia, dan berupaya melindungi keselamatan dunia, baik lahir maupun batin.