Jakarta (ANTARA News) - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal I Wayan Karya menolak gugatan praperadilan yang diajukan Gubernur Sultra Nur Alam dalam sidang putusan akhir praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu.

Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan surat perintah penyidikan KPK pada 15 Agustus 2016 karena diduga melakukan perbutan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.

Ia melakukan tindak melawan hukum dengan mengeluarkan Surat Keputusan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan Eksplorasi, SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Ekslorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di kabupaten Buton dan Bombana Sulawesi Tenggara.

Nur Alam dalam perkara itu disangkakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2013, Nur Alam diduga menerima aliran dana sebesar 4,5 juta dolar AS atau setara dengan Rp50 miliar dari Richcorp Internasional yang dikirim ke bank di Hong Kong dan sebagian di antaranya ditempatkan pada tiga polis AXA Mandiri.

Richcorp, melalui PT Realluck International Ltd (saham Richcorp 50 persen), merupakan pembeli tambang dari PT Billy Indonesia.