Yogyakarta (ANTARA News) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebutkan Daerah Istimewa Yogyakarta mulai memasuki musim hujan kendati belum merata di seluruh wilayah di daerah itu.

Koordinator Pos Klimatologi Badan Meteorologi, Klomatologi dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta, Joko Budiono di Yogyakarta, Selasa, mengatakan awal musim hujan terlihat dari curah hujan saat ini yang telah mencapai lebih dari 50 milimeter per dasarian.

"Awal Oktober ini curah hujan rata-rata di atas 50 milimeter sehingga sudah mengindikasikan masuk musim hujan," kata dia.

Menurut Joko, musim hujan di DIY akan berlangsung secara bertahap diawali dari Kabupaten Sleman Utara diikuti wilayah lain hingga paling akhir Gunung Kidul Selatan dan dan akan mencapai puncaknya pada Januari hingga Februari 2017.

Pada musim hujan tahun ini, menurut dia, masih disertai dengan kemunculan fenomena La Nina namun memiliki katagori sedang. "Akan berpengaruh pada semakin tingginya curah hujan, namun pengaruhnya tidak terlalu kuat," kata Joko.

Sementara itu, saat ini berdasarkan analisis kondisi atmosfer terkini di wilayah DIY terpantau indikasi munculnya cuaca ekstrem yang ditandai dengan hujan lebat disertai kilat dan angin kencang mencapai 8-25 kilometer per jam.

Ia mengimbau masyarakat waspada dan berhati-hati terhadap dampak yang ditimbulkan seperti banjir, tanah longsor, genangan, tanah licin, dan pohon tumbang.

Selain itu bagi pengguna maupun operator jasa transportasi laut, nelayan, dan masyarakat yang melakukan kegiatan wisata di pesisir Pantai Selatan DIY juga diimbau mewaspadai potensi gelombang tinggi dengan ketinggian mencapai 2,5 hingga 4 meter.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta (BPBD DIY) mengimbau masyarakat mewaspadai potensi bencana tanah longsor yang diakibatkan cuaca ekstrem selama awal musim hujan.

"Khususnya bagi masyarakat di kawasan perbukitan, kami imbau mewaspadai potensi longsor atau tanah bergerak," kata Komandan Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD DIY, Wahyu Pristiawan.

Menurut dia, peta zona rawan longsor atau pergerakan tanah masih relatif sama dengan tahun sebelumnya. Ia menyebutkan setidaknya terdapat 22 desa dari 6 kecamatan di Kulon Progo yang pernah mengalami longsor, di antaranya Desa Ngargosari, Pagerharjo, Gerbosari, Banjaroyo, Sidoharjo, Banjarsari, Banjararum, Purwoharjo, Giripurwo, Hargotirto, Hargowilis, Hargomulyo, Hargorejo, Pengasih, Kedung sari, Karangsari, Purwosari dan Kalirejo.

Di Kabupaten Gunung Kidul 13 desa dari 5 kecamatan yang rawan longsor di antaranya Srimartini, Wukir Harjo, Sampang, Watugajah, Tegalrejo, Jurangjero, Rejosari, Nglegi, Hargomulyo, Pilangrejo, Umbulrejo, Sawahan, Sidorejo, Putat, dan Gedang Sari. Selanjutnya Bantul dengan 12 desa rawan longsor, yakni Desa Argorejo, Sitimulyo, Bawuran, Wonolelo, Wukirsari, Muntur, Mangunan, Sriharjo, Selopamiro, Girijati dan Jatimulyo.

Kabupaten Sleman terdapat dua desa rawan longsor yakni Gayamharjo dan Kronggahan. Di Kota Yogyakarta juga terdapat dua kelurahan rawan longsor yakni Pandean dan Giwangan.