Samarinda (ANTARA News) - Lembaga perkumpulan petani dan nelayan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) menekankan Indonesia bisa kembali mewujudkan swasembada pangan nasional dengan memastikan ketersediaan lahan dan upaya meningkatkan produktivitas pertanian.

"Kita bisa kembali mewujudkan swasembada pangan seperti yang menjadi cita-cita dari Program Nawacita Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla," ujar Ketua Umum KTNA Winarno Tohir dalam acara Rembug Utama Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional 2016 dengan tema "Kita Mantapkan Stabilitas Pangan Nasional" di Samarinda, Jumat.

Winarno mengisahkan pada tahun 1930-an di masa kepemimpinan Presiden Soekarno, sektor pangan Indonesia pernah berjaya, dengan produktivitas pertanian melimpah dan mampu melebihi keperluan pangan nasional per kapita.

Namun pada tahun 1950-an produktivitas menurun karena faktor baru berdirinya pemerintahan pascakemerdekaan sehingga memaksa Indonesia mengimpor pangan untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Kemudian pada tahun 1986 di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia kembali mengulangi kejayaannya dalam swasembada pangan. Kala itu, para petani nasional di bawah KTNA tercatat pernah memberikan bantuan pangan terhadap Negara Etiopia yang rakyatnya dilanda kelaparan.

"Waktu itu petani di bawah KTNA menyepakati memberikan 15 kilogram gabah dari setiap satu hektare hasil panennya untuk Negara Etiopia di Afrika. Alhasil terkumpul lah 100.100 ton gabah dari total 200.000 petani KTNA," ujar dia.

Namun karena kesulitan mendistribusikan hasil panen gabah ke Afrika, maka gabah-gabah tersebut dijual terlebih dahulu dan menghasilkan uang senilai 7,4 juta dolar AS untuk diberikan ke Negara Etiopia.

"Jadi kita sebetulnya sudah swasembada pangan di tahun 1930-an dan 1986. Lalu mengapa setelah 1986 tidak swasembada lagi, ada banyak hal penyebabnya," kata Winarno.

Menurut Winarno, kendala pertama adalah alih fungsi lahan pertanian yang mempengaruhi produktivitas hasil pertanian. Penundaan alih fungsi lahan hanya dapat didorong melalui peraturan pemerintah.

"Luas lahan tani sekarang hanya 8,1 juta hektare. Itu pun sudah dibantu dengan munculnya Undang-undang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan," kata dia.

Kedua, sebanyak lima juta petani nasional meninggalkan profesinya selama rentang tahun 2003-2013, dan fakta bahwa dari 18 juta lebih jumlah petani nasional, sebanyak 62 persen di antaranya telah berusia uzur di atas 64 tahun, dan 28 persen lainnya berusia 35-45 tahun.

"Sisanya petani muda sangat sedikit jumlahnya. Jika tidak ada regenerasi, 12 tahun lagi kita kehilangan 14 juta petani. Dengan terus bertambahnya jumlah penduduk, maka berkurangnya jumlah petani ini menghambat swasembada pangan," kata Winarno.

Dia mengungkapkan di tengah fakta minimnya jumlah lahan dan petani, KTNA mengusulkan agar pemerintah terus fokus menigkatkan produktivitas pertanian per hektare. Lahan dekat bendungan yang selama ini hanya dipergunakan untuk dua kali menanam, agar digenjot menjadi tiga kali periode penanaman.

Sedangkan lahan tadah hujan yang biasanya hanya digunakan satu kali menanam ditingkatkan menjadi dua kali.

Sementara itu sebagai solusi atas semakin berkuranagnya jumlah petani produktif pemerintah perlu terus membantu petani dengan menghadirkan alat-alat mulai dari mesin pembajak, mesin tanam, hingga mesin panen.

Winarno mengatakan bersasarkan studi yang dilakukannya selama sembilan bulan di Jepang, mekanisme pertanian dengan alat bantu yang modern jauh lebih efisien dan produktif dibandingkan secara manual,selain itu juga daoat memacu anak muda mau berprofesi menjadi petani.

"Sekarang ini kita sudah masuk era Masyarakat Ekonomi ASEAN, harus fokus pada kualitas," ujar dia.

Dia menegaskan dengan 8,1 juta hektare lahan pertanian nasional saat ini, maka Indonesia hanya bisa menghasilkan rata-rata 16 juta hektar hasil panen per kapita. Jumlah itu jika dibagi dengan total 255 juta penduduk, hasilnya jauh dari kata mencukupi.

Akibatnya Indonesia masih perlu melakukan impor bahan pangan sebagai stok nasional.