Jakarta (ANTARA News) - Harga gas murah diprediksi mampu menimbulkan efek berganda yang berpengaruh positif bagi perekonomian nasional, demikian disampaikan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.

"Efek berganda tersebut, di antaranya mendorong pertumbuhan industri, peningkatan serapan tenaga kerja, dan penghematan devisa," kata Airlangga di Jakarta, Kamis.

Menurut Airlangga, dengan harga gas murah, sektor industri prioritas dapat tumbuh maksimal dan mendukung berkembangnya sektor yang berpotensi sebagai substitusi impor, seperti industri polyethylene dan polypropylene di sektor kimia.

Pada 2015, penggunaan gas bumi untuk sektor industri mencapai 2.280 million metric standard cubic feet per day (MMscfd). Adapun pembagiannya, yakni untuk bahan baku industri pupuk dan petrokimia sebesar 1.086 MMscfd, untuk kontak langsung dengan produk di industri keramik, kaca, dan semen sebanyak 337 MMscfd, serta sebagai energi untuk industri lain sebesar 857 MMscfd.

Airlangga mengatakan, idealnya harga gas untuk industri dipatok pada harga 4-5 dollar AS per million metric british thermal unit (MMBTU). “Namun, kondisinya industri kita membeli gas pada kisaran harga 7-10 dollar AS per MMBTU bahkan ada yang mencapai 12-14 dollar AS per MMBTU,” ungkapnya.

Menurut Airlangga, harga gas industri di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga ASEAN, seperti Singapura sekitar 4-5 dollar AS per MMBTU, Malaysia 4,47 dollar AS per MMBTU dan Vietnam seebesar 7,5 dollar AS per MMBTU.

“Apabila harga gas di Indonesia berada pada level yang sama dengan negara-negara tetangga, maka kami yakin produk-produk Indonesia akan memiliki daya saing yang makin kuat,” tegas Airlangga.

Oleh karena itu, Kemenperin menyambut positif penerbitan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 yang menjadi dasar hukum revisi harga gas ke industri sejak Mei lalu.

Dengan beleid tersebut, diharapkan harga gas untuk industri yang saat ini di atas 6 dollar AS per MMBTU berpotensi dapat diturunkan.

Namun demikian, Airlangga memandang bahwa sektor-sektor yang telah tertuang dalam Perpres 40/2016 masih perlu diperluas.

“Maka, kami mengusulkan adanya revisi dari Perpres ini dengan menambah cakupan sektor industri dari tujuh sektor menjadi 10 sektor serta ditambah industri-industri yang berlokasi di kawasan industri,” paparnya.

Penambahan sektor industri tersebut masuk dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan telah dibahas dengan Presiden RI Joko Widodo.

Kesepuluh sektor industri tersebut, yakni Industri Pupuk, Industri Petrokimia, Industri Oleokimia, Industri Baja/Logam Lainnya, Industri Keramik, Industri Kaca, Industri Ban dan Sarung Tangan Karet, Industri Pulp dan Kertas, Industri Makanan dan Minuman, serta Industri Tekstil dan Alas Kaki