"Kita harus berani mengoreksi praktek demorkasi liberal khususnya dalam Pemilu yang selama ini terbukti merusak tatanan dan karakter kebangsaan kita," katanya, di Ruang Rapat Fraksi PKS, Gedung Nusantara I, Jakarta, Rabu.
Dia bilang itu dalam diskusi "Menggagas Pemilu Ideal 2019" yang dilaksanakan Fraksi PKS DPR, Rabu.
Dia menjelaskan, Fraksi PKS DPR mengajukan evaluasi bahwa demokrasi dan Pemilu yang berjalan di Indonesia terlalu liberal.
Hal itu menurut dia berakibat pada proses Pemilu dan kepemimpinan yang dihasilkan belum mencerminkan karakter bangsa yang berketuhanan, berprikemanusiaan, dan yang kedepankan persatuan serta keutuhan Indonesia untuk wujudkan kesejahteraan rakyat.
"Diperlukan desain Pemilu yang semakin baik dalam aspek demokrasi, efektivitas, dan efisiensinya sehingga mampu hadirkan pemimpin di eksekutif dan legislatif yang memiliki kapabilitas, integritas, dan loyalitas kepada bangsa," ujarnya.
Dia juga meminta penyelenggara Pemilu untuk membuat regulasi terkait kegiatan promosi calon sehingga harus diatur secara tegas.
"Hal itu agar terwujud keadilan dan proporsionalitas dalam mempromosikan kontestan sehingga harus diatur dengan tegas," katanya.
Dalam diskusi itu, Wakil Ketua Komisi II DPR, Almuzzammil Yusuf, mengatakan, perlu mengkaji ulang sistem proporsional terbuka dalam sistem pemilu Indonesia.
Hal itu menurut dia karena sistem itu dengan menggunakan prinsip suara terbanyak memiliki banyak persoalan yang substansial.
"Sistem iu melahirkan kompetisi yang sengit antar calon legislatif dalam satu partai politik sehingga saling menjatuhkan. Sistem ini mendorong tiap calon legislatif berlomba-lomba menggunakan politik uang," ujarnya.
Sistem proporsional terbuka menurut dia, mendorong sejumlah partai politik akhirnya mengambil jalan pintas dengan menerapkan strategi merekrut selebriti menjadi calon legislatif. Dia menilai hal itu berdampak pada mengedepankan popularitas daripada kredibilitas dan kapabilitas calon legislatif.