Upaya bersama mencegah mafia tindak pidana perdagangan orang
18 September 2016 15:43 WIB
Korban Perdagangan Orang. Sejumlah calon tenaga kerja diamankan petugas BNP2TKI dan kepolisian Polres Bandara di TKI Lounge Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Senin (28/3/2016). Sebanyak 65 orang TKI yang akan berangkat ke Arab Saudi diamankan karena perusahaan yang memberangkatkan ilegal dan diduga melakukan praktik perdagangan orang. (ANTARA FOTO/Lucky R)
Jakarta (ANTARA News) - Hingga saat ini, kasus-kasus perdagangan orang masih menjadi perhatian masyarakat dunia, termasuk di Indonesia.
Meskipun bukan hal baru, kasus-kasus perdagangan orang semakin hari semakin mengemuka dan menyita banyak perhatian.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (PPPA), menyebut tindak pidana perdagangan orang sebagai salah satu bentuk perbudakan modern yang sangat memprihatinkan.
Kementerian PPPA juga mengumumkan bahwa di Indonesia, kasus perdagangan orang banyak terjadi seiring tingginya minat tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri, khususnya tenaga kerja wanita (TKW).
Tingginya minat TKW tersebut dinilai banyak dimanfaatkan oleh para mafioso perdagangan orang.
Jaringan mafia tersebut seringkali bekerja dengan berbagai cara mulai dari cara yang sangat halus dan rapi hingga cara yang paling kasar.
Menteri Pemberdayaan Perempuan d an Perlindungan Anak, Yohana Yembise mengatakan, mafia perdagangan orang bekerja mulai dari cara terselubung hingga terang-terangan.
"Namun yang pasti korban terbesar adalah perempuan dan anak," katanya.
Komitmen Pemerintah
Menteri Yohana menyebutkan, Pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang besar dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) melalui berbagai upaya dan kebijakan yang dilakukan.
"Diantaranya melalui berbagai regulasi dan kebijakan yang telah diterbitkan dalam beberapa tahun terakhir, untuk mengantisipasi dan mencegah penyebarluasan dari TPPO," katanya.
Selain itu, berbagai kajian juga telah dilakukan untuk mencari akar penyebab terus berjatuhannya korban perdagangan orang.
"Penanganan TPPO sebenarnya telah dimulai sejak tahun 2002 dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 2002 - 2007," katanya.
Kemudian, berlanjut dengan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang 2015 - 2019.
Selain itu, telah dibentuk gugus tugas sebagaimana diamanatkan dalam pasal 58 (ayat 3) UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga diperkuat melalui Peraturan Presiden Nomor 69 tahun 2008, dan bertindak sebagai Ketua adalah Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) sedangkan sebagai pelaksanan harian adalah Menteri PPPA.
Ditambah lagi, adanya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 183/373/SJ Tahun 2016, yang mengamanatkan seluruh provinsi dan kabupaten dan kota harus segera membentuk gugus tugas pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang paling lambat bulan Februari 2016.
Sampai saat ini telah terbentuk gugus tugas pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang sebanyak 31 di tingkat provinsi serta 192 di tingkat kabupaten dan kota.
Namun, demikian, kata dia, mencegah terus berjatuhannya korban TPPO bukanlah hal yang mudah dilakukan.
"Meski berbagai upaya telah kita lakukan, berbagai kebijakan telah kita hasilkan, fakta menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang masih terus terjadi bahkan dengan modus yang semakin berkembang dan kualitas kejahatan yang semakin meningkat," katanya.
Pasalnya, berbagai faktor juga mendorong merebaknya kasus TPPO di Tanah Air. Mulai dari faktor kemiskinan, rendahnya pendidikan, ketiadaan informasi, perceraian, nilai anak, hingga masalah hedonisme.
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran, kepedulian dan kerja sama semua pihak dalam upaya menghapuskan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia.
"Mari bersama-sama menghapuskan tindak pidana perdagangan orang," katanya.
Sementara itu, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika R Niken Widiastuti mengatakan isu perempuan dan anak, khususnya terkait tindak pidana perdagangan orang perlu mendapatkan perhatian.
"Perempuan dan anak menjadi isu yang perlu mendapat perhatian bukan hanya dari pemerintah, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat," katanya.
Menurut Niken, perempuan dan anak menjadi kelompok yang rentan mengalami kekerasan.
Berdasarkan data Bareskrim Polri pada 2012 - 2015 tercatat ada 861 kasus tindak pidana perdagangan orang dengan lebih dari 70 persen korbannya adalah perempuan dan anak.
"Modus terbesar adalah prostitusi dan ketenagakerjaan," katanya.
Niken menilai, semua komponen masyarakat harus bekerjasama, bekerja keras, komprehensif dan dan terukur dalam meminimalisasi jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Meskipun bukan hal baru, kasus-kasus perdagangan orang semakin hari semakin mengemuka dan menyita banyak perhatian.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (PPPA), menyebut tindak pidana perdagangan orang sebagai salah satu bentuk perbudakan modern yang sangat memprihatinkan.
Kementerian PPPA juga mengumumkan bahwa di Indonesia, kasus perdagangan orang banyak terjadi seiring tingginya minat tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri, khususnya tenaga kerja wanita (TKW).
Tingginya minat TKW tersebut dinilai banyak dimanfaatkan oleh para mafioso perdagangan orang.
Jaringan mafia tersebut seringkali bekerja dengan berbagai cara mulai dari cara yang sangat halus dan rapi hingga cara yang paling kasar.
Menteri Pemberdayaan Perempuan d an Perlindungan Anak, Yohana Yembise mengatakan, mafia perdagangan orang bekerja mulai dari cara terselubung hingga terang-terangan.
"Namun yang pasti korban terbesar adalah perempuan dan anak," katanya.
Komitmen Pemerintah
Menteri Yohana menyebutkan, Pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang besar dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) melalui berbagai upaya dan kebijakan yang dilakukan.
"Diantaranya melalui berbagai regulasi dan kebijakan yang telah diterbitkan dalam beberapa tahun terakhir, untuk mengantisipasi dan mencegah penyebarluasan dari TPPO," katanya.
Selain itu, berbagai kajian juga telah dilakukan untuk mencari akar penyebab terus berjatuhannya korban perdagangan orang.
"Penanganan TPPO sebenarnya telah dimulai sejak tahun 2002 dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 2002 - 2007," katanya.
Kemudian, berlanjut dengan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang 2015 - 2019.
Selain itu, telah dibentuk gugus tugas sebagaimana diamanatkan dalam pasal 58 (ayat 3) UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga diperkuat melalui Peraturan Presiden Nomor 69 tahun 2008, dan bertindak sebagai Ketua adalah Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) sedangkan sebagai pelaksanan harian adalah Menteri PPPA.
Ditambah lagi, adanya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 183/373/SJ Tahun 2016, yang mengamanatkan seluruh provinsi dan kabupaten dan kota harus segera membentuk gugus tugas pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang paling lambat bulan Februari 2016.
Sampai saat ini telah terbentuk gugus tugas pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang sebanyak 31 di tingkat provinsi serta 192 di tingkat kabupaten dan kota.
Namun, demikian, kata dia, mencegah terus berjatuhannya korban TPPO bukanlah hal yang mudah dilakukan.
"Meski berbagai upaya telah kita lakukan, berbagai kebijakan telah kita hasilkan, fakta menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang masih terus terjadi bahkan dengan modus yang semakin berkembang dan kualitas kejahatan yang semakin meningkat," katanya.
Pasalnya, berbagai faktor juga mendorong merebaknya kasus TPPO di Tanah Air. Mulai dari faktor kemiskinan, rendahnya pendidikan, ketiadaan informasi, perceraian, nilai anak, hingga masalah hedonisme.
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran, kepedulian dan kerja sama semua pihak dalam upaya menghapuskan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia.
"Mari bersama-sama menghapuskan tindak pidana perdagangan orang," katanya.
Sementara itu, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika R Niken Widiastuti mengatakan isu perempuan dan anak, khususnya terkait tindak pidana perdagangan orang perlu mendapatkan perhatian.
"Perempuan dan anak menjadi isu yang perlu mendapat perhatian bukan hanya dari pemerintah, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat," katanya.
Menurut Niken, perempuan dan anak menjadi kelompok yang rentan mengalami kekerasan.
Berdasarkan data Bareskrim Polri pada 2012 - 2015 tercatat ada 861 kasus tindak pidana perdagangan orang dengan lebih dari 70 persen korbannya adalah perempuan dan anak.
"Modus terbesar adalah prostitusi dan ketenagakerjaan," katanya.
Niken menilai, semua komponen masyarakat harus bekerjasama, bekerja keras, komprehensif dan dan terukur dalam meminimalisasi jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Oleh Wuryanti Puspitasari
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016
Tags: