Beirut (ANTARA News) - Pasukan pemerintah dan gerilyawan di sejumlah wilayah Suriah, Minggu, menjelang pemberlakuan gencatan senjata yang telah disepakati oleh kelompok oposisi Tentara Pembebasan Suriah (FSA).

Kepada Amerika Serikat dalam surat terbuka, FSA menyatakan akan "bekerja sama secara postitif" terkait gencatan senjata meski khawatir kesepakatan itu akan lebih menguntungkan pihak pemerintah.

Meski tidak secara eksplisit akan mematuhinya, dua orang gerilyawan yang membenarkan surat itu menyatakan, FSA akan menurunkan peralatan perang mereka saat gencatan senjata mulai diberlakukan pada Senin malam waktu setempat.

Namun di sisi lain, kelompok itu khawatir akan ketiadaan mekanisme jaminan dan peraturan di wilayah-wilayah kepungan. Selain itu, mereka juga mempertanyakan klausul yang memperbolehkan pesawat tempur tetap beroperasi selama sembilan hari setelah pemberlakukan gencatan senjata.

Sebuah lembaga pemantau melaporkan, pertempuran masih terjadi di Aleppo dan Damascus.

Perang saudara di Suriah selama lima tahun terakhir ini telah menewaskan ratusan ribu orang dan memaksa 11 juta --setara dengan 50 persen populasi sebelum perang-- lainnya mengungsi.

Dalam perang itu, Presiden Suriah, Bashar al Assad, memperoleh dukungan dari sejumlah negara besar seperti Rusia dan Iran. Sementara di kubu seberang, para gerilyawan mendapat bantuan dari Amerika Serikat, Turki, dan negara-negara Teluk.

Kesepakatan gencatan senjata pernah tercapai pada awal tahun ini. Namun perjanjian itu berakhir dengan kegagalan hanya dalam beberapa pekan.

"Sebagian besar klausul perjanjian baru ini sangat menguntungkan rezim pemerintah dan tidak ada jaminan bagi mereka untuk mematuhinya," kata Zakaria Malahifji, dari kelompok gerilyawan Fastaqim, di Aleppo.

Pemerintah Suriah sendiri hingga kini belum mengeluarkan komentar resmi mengenai gencatan senjata. Namun media pemerintah, pada Sabtu, mengutip sejumlah sumber yang menyatakan bahwa pemerintah telah menyepakatinya. Iran juga menyambut baik perjanjian itu pada Ahad.

Gencatan senjata itu tidak berlaku bagi kelompok bersenjata ISIS dan Jabhat Fateh al-Sham, atau lebih dikenal dengan Nusra Front, yang berafiliasi dengan Al Qaeda.

Beberapa kelompok gerilyawan memprotes klausul pengecualan bagi Jabhat Fateh al-Sham, karena milisi asing yang didukung Iran tidak diperlakukan sama. Mereka menyebutnya sebagai standar ganda.

Kelompok-kelompok itu juga khawatir pengecualian terhadap Jabhat Fateh al-Sham akan menjadi alasan bagi Rusia untuk membombardir kelompok-kelompok lain mengingat lokasi mereka yang berdekatan.

Sementara itu Amerika Serikat pada Sabtu mengingatkan bahwa kelompok-kelompok gerilyawan moderat akan menghadapi "konsekuensi besar" jika bekerja sama dengan Jabhat Fateh al-Sham.