Heboh tokoh Mukidi di jagat media sosial menyeret khalayak saling bersahutan dan bertukar komentar bernada jenaka bertabur kekonyolan demi kekonyolan di bawah kubah keseharian dan kepenatan ziarah hidup.

Mu-ki-di..., sengaja nama sang tokoh dipenggal tiga suku kata agar dapat dilafalkan dengan mulut sedikit monyong sebagai ujaran yang mengusik dan mengundang mereka yang hendak menertawakan diri sendiri dengan membongkar lalu menggeledah teks berjudul MUkidi.

Memasuki pekan keempat Agustus 2016, tokoh Mukidi ramai-ramai dibincang di media sosial baik dengan tulisan maupun gambar. Dikesan-dikesankan bahwa tokoh yang satu ini memiliki silsilah keluarga dan melakukan aktivitas keseharian bersama dengan orang lain.

Perilaku Mukidi mengundang tawa. Dikisahkan bahwa suatu ketika, sang tokoh menelepon ke kantor bioskop sampai tiga kali untuk menanyakan jam tayang bioskop.

Dengan menggunakan bahasa Jawa, Mukidi bertanya kepada petugas bioskop lewat pesawat telpon. "Halo, Mas...aku arep takon bioskop buka jam pira...? (Halo, mas...saya mau tanya, bioskop buka jam berapa?"

Penjaga menjawab, "jam siji, mas. (Jam satu, mas)." Setelah mendengar jawaban itu, Mukidi meminta kepada penjaga bioskop agar bersedia memulai jam tayang sebelum pukul satu.

Mukidi memohon dengan mengiba bertelepon sampai tiga kali kepada penjaga bioskop. Mengapa?

Sontak, tersulut dan tersambar kesal oleh "rongrongan" Mukidi itu, penjaga bioskop dengan hati mendongkol kemudian menjawab, "sakjane sampeyan arep nonton pilem apa toh...kok telepon terus-terusan? (sebenarnya anda bermaksud menonton film apa?"

Pembaca boleh jadi tertawa setelah membaca jawaban Mukidi atas pertanyaan penjaga bioskop. Ditulis dalam kisah bertajuk "Mukidi Nonton Bioskop", sambil menangis, Mukidi menjawab, "aku iki kekuncen nang njero bioskop, mas...mau bengi pas nonton pilem keturon...tulungana ta mas...bukakke lawange...aku pingin mulih."

"Saya ini terkunci di dalam bioskop, mas...saya tertidur tadi malam pas nonton film. Tolong, mas...buka pintunya...saya ingin pulang," kata Mukidi.

Dikisahkan pula bahwa Mukidi memiliki silsilah keturunan keluarga. Orangtua Mukidi bernama Mukirun (Ayah) dan Mukiatun (Ibu).

Mukirun lahir dari perkawinan antara Moekiro dan Moekiyah. Buah hati mereka berjumlah lima orang, salah satunya Mukirun yang ditulis "dengan menggunakan ejaan baru".

Selanjutnya, Moekibat kawin dengan Moekinah, memiliki lima orang anak, salah satunya Moekiro. "Moekidjo kawin dengan Moekirah, punya empat buah hati, salah satunya Moekibat."

Selain Mukidi Nonton Bioskop, ada beberapa kisah jenaka lainnya, antara lain berjudul, Ini...Mukidi Maning, Mukidi Maning (Ini...Mukidi lagi, Mukidi lagi), Ternyata Mukidi Terlalu Sayang sama Istrinya, Arwah Mukidi dan istrinya, Naik Tangga.

Ada apa dengan teks berjudul Mukidi yang berwarna humor? Apa makna teks Mukidi yang dijejali dan disesaki dengan kejenakaan bagi ziarah hidup?

Keberanian, inilah satu kata jawaban yang membingkai tiga sepak terjang keseharian manusia. Pertama, milikilah keberanian untuk menertawakan diri sendiri setelah membaca kisah humor Mukidi.

Kedua, milikilah keberanian untuk membongkar kemudian mengambil jarak secara geguyon dengan bersikap agresif terhadap kemapanan, atau mengguncang segala bentuk kepalsuan yang membelenggu kreativitas demi memperoleh rasa aman di bawah kungkungan gheto berupa iming-iming jabatan mapan, bujuk rayu ingin cepat kaya kemudian sikut sana-sikut sini dengan mengorbankan kebersamaan.

Di rumah, di sekolah, di perguruan tinggi, di kantor, dan di kehidupan sehari-hari-hari, keberanian kerapkali dipandang sebagai virus yang mengganggu rasa aman, yang meneror rasa ingin mereguk nikmat sesaat di menara gading egoisme.

"Mengapa harus menempuh yang sulit-sulit di tengah hidup yang sudah sulit? Keberanian hanyalah milik mereka yang hidup berkelana di dunia entah berantah!"

Ketiga, bicara keberanian, filosof Yunani klasik Sokrates bersikap dan bertindak autentik. Ia tidak ingin mencari rasa tenang dalam menara gading kepentingan diri sendiri.

Ia justru terus menjalin dialog satu lawan satu dengan dilandasi perilaku yang tekun memeriksa diri setiap hari. Sokrates memilih berefleksi ketimbang bereaksi tanpa kendali diri.

Akhir hidup Sokrates mencerminkan keberanian untuk menertawakan diri sendiri dan melawan perilaku mencari nikmat sebesar-besarnya demi kepentingan diri pribadi atau kelompok.

Sokrates menertawakan diri sendiri ketika sahabat-sahabat dekatnya menawarkan pembebasan dari hukuman mati. Ia menolak (keinginan dan perilaku mencari nikmat bagi diri sendiri) kemudian memilih setia dengan hukum polis yang memutuskan bahwa ia harus menemui ajal dengan meminum racun.

Sokrates dituduh telah meracuni kaum muda zaman itu dengan sejumlah ajaran-ajaran bijaknya. "...dan Dia mengatakan kepada kita melalui orakulum itu, bahwa hikmat insani sedikit saja harganya atau sama sekali tidak berharga." (Apologia 23a, terjemahan Ioanes Rakhmat, halaman 92).

Teks berjudul Mukidi membawa pembaca kepada sikap sinis setelah merespon situasi yang ada, dan berani menertawakan diri sendiri.

Setakat dengan itu, Sokrates mengajak khalayak untuk memahami yang ada, bukan yang seharusnya ada, kemudian memilih untuk mendengar setiap buah dari refleksi diri.

Kisah humor Mukidi merupakan pemenuhan dari salah satu peribahasa Jawa, yakni guyon parikeno. Artinya, geguyon atau guyon yang artinya canda ria bertujuan menghilangkan stres dan menyampaikan kritik.

Dengan kisah Mukidi yang sarat canda, pihak yang dikritik kemudian diharapkan tidak merasa sakit hati. Dan Sokrates bertolak dari pengalaman hidup sehari-hari, bukan melulu pertimbangan akal budi.

Dan tertawa merupakan jalan melingkar dari kebijakan hidup bahwa manusia adalah dia yang tahu bahwa ia tidak tahu, namun selalu perlu untuk senantiasa belajar bahwa manusia tidak akan pernah tahu sepenuh-penuhnya.