"Siskamling" gajah di Way Kambas
29 Agustus 2016 19:31 WIB
ilustrasi - Gajah Way Kambas Hibur Warga Beberapa orang duduk di atas punggung gajah yang didatangkan dari Taman Nasional Way Kambas di Lapangan Kalpataru, Bandar Lampung, Lampung, Minggu (24/4/2016). Pihak pengelola Taman Nasional Way Kambas sengaja mendatangkan binatang raksasa yang menjadi ikon Provinsi Lampung ke tengah warga lantaran banyak warga Lampung sendiri yang belum pernah ke taman nasional yang menjadi lokasi perawatan dan pelatihan gajah. (ANTARA FOTO/Tommy Saputra)
Pada Kamis (25/8), di bawah terik matahari, Suwahlur, warga Dusun Margahayu, Desa Labuhan Ratu VII, berjalan cepat di sisi kanan kanal yang menjadi batas desanya dengan Taman Nasional Way Kambas yang berlokasi di Kabupaten Lampung Timur.
Sisi kanan tempatnya berjalan terlihat hamparan kebun singkong yang dibatasi jajaran rapi pohon karet, sedangkan di sisi kirinya tampak rawa dengan semak belukar cukup tebal dengan ketinggian vegetasi antara nol hingga tiga meter.
Air rawa memang berada sekitar tiga meter di bawah sekat kanal yang sebagian masih tampak alami alias berupa tanah, dan sebagian kecil lainnya berupa tembok kokoh. Pada bagian sekat kanal alami yang ditemukan banyak patahan kayu, langkah kaki pria berlogat Jawa kental yang juga menjadi Ketua Masyarakat Mitra Polisi Hutan (MMP) Dusun Margahayu ini berhenti.
"Ini (portal kayu) hancur waktu mereka lari keluar dari kebun (singkong). Pas naik ke sini (ke kebun singkong warga) enggak (hancur), mereka pintar cari jalan, begitu kami usir keluar dari sini semua hancur berantakan," ujar Suwahlur.
Mereka yang dimaksud oleh Suwahlur tadi tentu bukan kawanan tikus yang lari tunggang langgang menerabas dan menghancur leburkan portal kayu di ketinggian tiga meter di atas sekat kanal yang sudah dibangun secara swadaya oleh warga dusun. Mereka adalah kawanan gajah liar sumatra (Elephas maximus sumatranus) yang sedang "jajan" di kebun singkong milik warga, dan lari tunggang langgang setelah dihalau keluar desa dengan bunyi-bunyian keras.
Istilah "jajan" tadi disebutkan oleh Way Kambas Landscape Manager Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) Sugiyo untuk gajah-gajah liar dari Taman Nasional Way Kambas yang mencoba pakan berbeda dari yang tersedia di dalam kawasan taman nasional.
"Ya kayak kalau kita bosan makan masakan rumah terus pingin jajan," ujar Sugiyo sambil tertawa.
Sugiyo sebagai perwakilan organisasi lingkungan yang bertugas di sana memang lebih senang membahasakan konflik manusia dengan satwa liar seperti yang terjadi di Dusun Margahayu dan desa-desa lainnya di sekitar TNWK ini dengan lebih sederhana, meski di balik itu semua konflik tersebut begitu rumit dipecahkan.
Terbukti setelah tiga dekade berlangsung konflik itu masih tetap ada di sekitar taman nasional yang berada di Kabupaten Lampung Timur ini.
Jika peneliti hingga masyarakat kota di berbagai negara dunia penasaran karena sulit melihat satwa dilindungi ini langsung di alam liar, berbeda dengan masyarakat di Braja Harjosari, Labuhan Ratu VI, Labuhan Ratu VII, dan Labuhan Ratu IX yang hampir setiap sore hingga malam hari dikunjungi satwa cerdas bertubuh besar ini.
"Mereka ada yang berkunjung hingga ke belakang rumah warga. Dan jumlahnya tidak sedikit, karena gajah kan memang bukan satwa soliter, dia pasti berkelompok yang jumlahnya bisa 30 individu dari yang kecil sampai yang besar," ujar dia.
Namun demikian, Sugiyo bersama masyarakat desa, Pemerintah Kabupaten, Balai Taman Nasional Way Kambas, hingga akademisi sudah duduk bersama, dan sepakat untuk mengelola konflik manusia dengan gajah ini dengan cara yang tidak membahayakan kedua pihak. Bahkan harapannya konflik ini justru bisa mendatangkan kesejahteraan bagi gajah maupun bagi masyarakat desa.
"Siskamling" gajah
Sejumlah gubuk sederhana hingga pos kecil berdinding tembok banyak terlihat didirikan di dekat kebun singkong, jagung, karet, dan sawah milik masyarakat di empat desa di atas. Gubuk sederhana yang, menurut Suwahlur, menjadi tempat melaksanakan sistem keamanan lingkungan alias siskamling juga terlihat di kebun singkong yang bersebelahan langsung dengan TNWK di Dusun Margahayu.
"Ini tempat kami jaga mbak. Biasanya enam orang dari dusun sini, lima orang dari (dusun) sebelah, kami sama-sama jaga bergantian setiap malam," kata Suwahlur saat nunjukkannya pada Antara.
Sejauh ini cara siskamling gajah ini, atau istilah dari teman-teman di konservasi sebagai patroli, yang paling efektif menghalau gajah liar dari desa untuk kembali ke kawasan taman nasional.
"Kamia pasang portal kayu hancur, kami pakai drum putar pakai kawat kadang-kadang juga rusak. Bronjong sebenarnya efektif karena gajahnya nggak bisa naik dari kanal, tapi kalau harus pakai dana sendiri nggak kuat mbak, bisa puluhan kilometer harus dipasang," ujar dia.
Alhasil, siskamling gajah ini lah yang semakin rutin dilaksanakan. Masyarakat desa sejak sore, sekitar pukul 18.00 dengan membawa jas hujan, sepatu boot, dan lampu belor yang terbuat dari aki sudah mulai berjaga-jaga di sejumlah pos dan saling memberi kabar di mana lokasi gajah-gajah liar masuk ke desa.
Jika memang terdeteksi kehadiran kawanan gajah liar di satu lokasi masyarakat desa akan segera menghalaunya dengan berbagai cara, dengan tetap menjaga keselamatan diri sendiri dan sekaligus gajah.
Salah seorang anggota MMP Desa Labuhan Ratu VI Joni Andrean mengatakan biasanya gajah dihalau dengan bunyi-bunyian yang keras. Dan jika tidak juga berhanjak digunakan pula cara lama, membakar karung goni yang diikatkan ke bambu dan digunakan beramai-ramai untuk menghalau satwa tersebut.
"Biasanya mereka takut. Kan mereka takut sama suara ramai, sama api," ujar Joni.
Meski demikian bukan berarti manusia selalu lebih superior dalam konflik ini. Joni yang juga merupakan anggota tim smart patrol WCS ini mengaku tidak jarang dirinya bersama warga desa yang lain justru yang dikejar oleh satwa liar bertubuh tambun ini.
Karena itu, prinsip kehati-hatian selalu diterapkan mereka ketika berhadapan dengan gajah-gajah liar tersebut.
Konflik jadi wisata
Dosen biologi Fakultas MIPA Universitas Lampung (Unila) Elly Lestari Rustianti mengatakan Forum Rembug Desa Braja Harjosari mendatangi Unila yang intinya meminta bantuan menyelesaikan konflik dengan gajah di desanya.
Masyarakat desa, menurut Elly, kesal dengan gajah-gajah ini, tetapi balasan mereka tidak negatif pada satwa liar dilindungi ini. "Bayangkan, dua hari sebelum dipanen tanaman sudah dimakan gajah. Mereka kesal, tapi perlu diapresiasi, mereka tidak mau menyakiti gajah".
"Kami tanya kelurahan mereka ke taman nasional apa, dan dijawab agar mereka juga dilibatkan jika ada tamu yang datang. Dari sana Unila survei ke desa dan melihat bentang alam cukup bagus, kombinasi sungai, pertanian, kebun jeruk bali, jambu kristal, karena itu kami tawarkan ekowisata," ujar dia.
Upaya mengembangkan ekowisata di Desa Braja Harjosari sudah berjalan, dan bisa diduplikasi. Namun, menurut Elly, justru mereka selalu meminta pelatihan agar ekowisata semakin menarik dan diminati pengunjung domestik maupun mancanegara.
Pelatihan membuat kerajinan, packing menarik untuk makanan ringan, pelatihan membuat homestay, hingga manajemen pengelolaan ekowisata dengan membuat Kelompok Wisata Desa Way Kambas.
Setelah ada ekowisata maka ide yang muncul saat ini adalah "edutourism" dengan memasukkan patroli gajah ini sebagai bentuk pemahaman konflik manusia dengan satwa liar secara nyata di lapangan, bukan hanya melihat satwa liar di habitatnya. Mereka yang datang ke desa-desa yang bertetangga dengan TNWK ini nantinya akan bisa diajak ikut melakukan "siskamling" bersama masyarakat desa.
"Edutourism" ini masih terus disempurnakan untuk pelaksanaannya. Tentu saja termasuk membuat semacam Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk tamu yang ingin ikut aktivitas patroli gajah tersebut, karena bagaimanapun faktor keamanan harus menjadi hal utama, ujar Elly.
Sisi kanan tempatnya berjalan terlihat hamparan kebun singkong yang dibatasi jajaran rapi pohon karet, sedangkan di sisi kirinya tampak rawa dengan semak belukar cukup tebal dengan ketinggian vegetasi antara nol hingga tiga meter.
Air rawa memang berada sekitar tiga meter di bawah sekat kanal yang sebagian masih tampak alami alias berupa tanah, dan sebagian kecil lainnya berupa tembok kokoh. Pada bagian sekat kanal alami yang ditemukan banyak patahan kayu, langkah kaki pria berlogat Jawa kental yang juga menjadi Ketua Masyarakat Mitra Polisi Hutan (MMP) Dusun Margahayu ini berhenti.
"Ini (portal kayu) hancur waktu mereka lari keluar dari kebun (singkong). Pas naik ke sini (ke kebun singkong warga) enggak (hancur), mereka pintar cari jalan, begitu kami usir keluar dari sini semua hancur berantakan," ujar Suwahlur.
Mereka yang dimaksud oleh Suwahlur tadi tentu bukan kawanan tikus yang lari tunggang langgang menerabas dan menghancur leburkan portal kayu di ketinggian tiga meter di atas sekat kanal yang sudah dibangun secara swadaya oleh warga dusun. Mereka adalah kawanan gajah liar sumatra (Elephas maximus sumatranus) yang sedang "jajan" di kebun singkong milik warga, dan lari tunggang langgang setelah dihalau keluar desa dengan bunyi-bunyian keras.
Istilah "jajan" tadi disebutkan oleh Way Kambas Landscape Manager Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) Sugiyo untuk gajah-gajah liar dari Taman Nasional Way Kambas yang mencoba pakan berbeda dari yang tersedia di dalam kawasan taman nasional.
"Ya kayak kalau kita bosan makan masakan rumah terus pingin jajan," ujar Sugiyo sambil tertawa.
Sugiyo sebagai perwakilan organisasi lingkungan yang bertugas di sana memang lebih senang membahasakan konflik manusia dengan satwa liar seperti yang terjadi di Dusun Margahayu dan desa-desa lainnya di sekitar TNWK ini dengan lebih sederhana, meski di balik itu semua konflik tersebut begitu rumit dipecahkan.
Terbukti setelah tiga dekade berlangsung konflik itu masih tetap ada di sekitar taman nasional yang berada di Kabupaten Lampung Timur ini.
Jika peneliti hingga masyarakat kota di berbagai negara dunia penasaran karena sulit melihat satwa dilindungi ini langsung di alam liar, berbeda dengan masyarakat di Braja Harjosari, Labuhan Ratu VI, Labuhan Ratu VII, dan Labuhan Ratu IX yang hampir setiap sore hingga malam hari dikunjungi satwa cerdas bertubuh besar ini.
"Mereka ada yang berkunjung hingga ke belakang rumah warga. Dan jumlahnya tidak sedikit, karena gajah kan memang bukan satwa soliter, dia pasti berkelompok yang jumlahnya bisa 30 individu dari yang kecil sampai yang besar," ujar dia.
Namun demikian, Sugiyo bersama masyarakat desa, Pemerintah Kabupaten, Balai Taman Nasional Way Kambas, hingga akademisi sudah duduk bersama, dan sepakat untuk mengelola konflik manusia dengan gajah ini dengan cara yang tidak membahayakan kedua pihak. Bahkan harapannya konflik ini justru bisa mendatangkan kesejahteraan bagi gajah maupun bagi masyarakat desa.
"Siskamling" gajah
Sejumlah gubuk sederhana hingga pos kecil berdinding tembok banyak terlihat didirikan di dekat kebun singkong, jagung, karet, dan sawah milik masyarakat di empat desa di atas. Gubuk sederhana yang, menurut Suwahlur, menjadi tempat melaksanakan sistem keamanan lingkungan alias siskamling juga terlihat di kebun singkong yang bersebelahan langsung dengan TNWK di Dusun Margahayu.
"Ini tempat kami jaga mbak. Biasanya enam orang dari dusun sini, lima orang dari (dusun) sebelah, kami sama-sama jaga bergantian setiap malam," kata Suwahlur saat nunjukkannya pada Antara.
Sejauh ini cara siskamling gajah ini, atau istilah dari teman-teman di konservasi sebagai patroli, yang paling efektif menghalau gajah liar dari desa untuk kembali ke kawasan taman nasional.
"Kamia pasang portal kayu hancur, kami pakai drum putar pakai kawat kadang-kadang juga rusak. Bronjong sebenarnya efektif karena gajahnya nggak bisa naik dari kanal, tapi kalau harus pakai dana sendiri nggak kuat mbak, bisa puluhan kilometer harus dipasang," ujar dia.
Alhasil, siskamling gajah ini lah yang semakin rutin dilaksanakan. Masyarakat desa sejak sore, sekitar pukul 18.00 dengan membawa jas hujan, sepatu boot, dan lampu belor yang terbuat dari aki sudah mulai berjaga-jaga di sejumlah pos dan saling memberi kabar di mana lokasi gajah-gajah liar masuk ke desa.
Jika memang terdeteksi kehadiran kawanan gajah liar di satu lokasi masyarakat desa akan segera menghalaunya dengan berbagai cara, dengan tetap menjaga keselamatan diri sendiri dan sekaligus gajah.
Salah seorang anggota MMP Desa Labuhan Ratu VI Joni Andrean mengatakan biasanya gajah dihalau dengan bunyi-bunyian yang keras. Dan jika tidak juga berhanjak digunakan pula cara lama, membakar karung goni yang diikatkan ke bambu dan digunakan beramai-ramai untuk menghalau satwa tersebut.
"Biasanya mereka takut. Kan mereka takut sama suara ramai, sama api," ujar Joni.
Meski demikian bukan berarti manusia selalu lebih superior dalam konflik ini. Joni yang juga merupakan anggota tim smart patrol WCS ini mengaku tidak jarang dirinya bersama warga desa yang lain justru yang dikejar oleh satwa liar bertubuh tambun ini.
Karena itu, prinsip kehati-hatian selalu diterapkan mereka ketika berhadapan dengan gajah-gajah liar tersebut.
Konflik jadi wisata
Dosen biologi Fakultas MIPA Universitas Lampung (Unila) Elly Lestari Rustianti mengatakan Forum Rembug Desa Braja Harjosari mendatangi Unila yang intinya meminta bantuan menyelesaikan konflik dengan gajah di desanya.
Masyarakat desa, menurut Elly, kesal dengan gajah-gajah ini, tetapi balasan mereka tidak negatif pada satwa liar dilindungi ini. "Bayangkan, dua hari sebelum dipanen tanaman sudah dimakan gajah. Mereka kesal, tapi perlu diapresiasi, mereka tidak mau menyakiti gajah".
"Kami tanya kelurahan mereka ke taman nasional apa, dan dijawab agar mereka juga dilibatkan jika ada tamu yang datang. Dari sana Unila survei ke desa dan melihat bentang alam cukup bagus, kombinasi sungai, pertanian, kebun jeruk bali, jambu kristal, karena itu kami tawarkan ekowisata," ujar dia.
Upaya mengembangkan ekowisata di Desa Braja Harjosari sudah berjalan, dan bisa diduplikasi. Namun, menurut Elly, justru mereka selalu meminta pelatihan agar ekowisata semakin menarik dan diminati pengunjung domestik maupun mancanegara.
Pelatihan membuat kerajinan, packing menarik untuk makanan ringan, pelatihan membuat homestay, hingga manajemen pengelolaan ekowisata dengan membuat Kelompok Wisata Desa Way Kambas.
Setelah ada ekowisata maka ide yang muncul saat ini adalah "edutourism" dengan memasukkan patroli gajah ini sebagai bentuk pemahaman konflik manusia dengan satwa liar secara nyata di lapangan, bukan hanya melihat satwa liar di habitatnya. Mereka yang datang ke desa-desa yang bertetangga dengan TNWK ini nantinya akan bisa diajak ikut melakukan "siskamling" bersama masyarakat desa.
"Edutourism" ini masih terus disempurnakan untuk pelaksanaannya. Tentu saja termasuk membuat semacam Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk tamu yang ingin ikut aktivitas patroli gajah tersebut, karena bagaimanapun faktor keamanan harus menjadi hal utama, ujar Elly.
Pewarta: Virna Puspa Setyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016
Tags: