Pertama kali menjejakkan kaki di Bandara Tjilik Riwut, Kalimantan Tengah, setiap orang akan disambut dengan pemandangan khas yang mungkin hanya bisa dijumpai di Tanah Borneo. Tanah yang tak terlalu keras, genangan air di tanah berawa, tanah sedikit berpasir, dan tanaman paku di kanan-kiri jalan. Kalimantan Tengah adalah provinsi terbesar ke-tiga di Indonesia, setelah Papua dan Kalimantan Timur. Menurut data Pemprov Kalimantan Tengah, 2006, luas wilayahnya mencapai 153.364 km persegi atau sekitar 1,5 kali lebih besar daripada Pulau Jawa. Salah satu ciri khas wilayah Kalimantan Tengah adalah hampir seluruhnya dialiri oleh sungai besar dan kecil, yang mengalir dari Utara ke Selatan dan bermuara ke Laut Jawa. Bila di Pulau Jawa air disimpan di hutan tropis dan gunung, air di Kalimantan disimpan di sungai dari hutan gambut, kata Bambang Setiadi, Ketua Himpunan Masyarakat Gambut Indonesia. Dengan 11 sungai besar dan 33 sungai kecil atau anak sungai, kebutuhan masyarakat Kalimantan Tengah akan air dan sistem irigasi bisa dipenuhi. Selain khas dengan sungai-sungai besarnya, Kalimantan Tengah juga terkenal secara internasional gara-gara program Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektare (PLG) tahun 1997, yang rencananya "menyulap" 1 juta hektar gambut menjadi sawah padi. Namun yang terjadi justru lahan dan hutan gambut mengalami kerusakan sangat parah, akibat kegiatan manusia yang tidak berwawasan lingkungan. PLG, misalnya, menyodet kubah gambut untuk menghubungkan Sungai Kahayan dan Sungai Sebangau. Sodetan itu disebut dengan Saluran Primer Induk (SPI). Panjang saluran ini mencapai puluhan kilometer dan lebar sekitar 30 meter. Selain SPI, terdapat pula ribuan saluran berukuran besar (primer) hingga tersier yang total panjangnya 2.114 km (Wetlands International, 2005). Kini, kondisi saluran-saluran itu terbengkalai dan telah menguras air dari gambut tanpa kendali, sehingga lahan dan hutan gambut pun mudah terbakar bila musim kemarau melanda. Multi Fungsi Lahan gambut adalah lahan basah yang memegang fungsi penting sebagai benda ekstraktif dan non-ekstraktif. Sebagai bahan ekstraktif, gambut bisa dimanfaatkan sebagai bahan energi semisal dijadikan briket, atau diambil asam humatnya, dijadikan media semai atau media untuk reklamasi lahan kering. Sedangkan sebagai bahan non-ekstraktif, gambut berfungsi sebagai penyokong biodiversitas, sebagai hutan, perkebunan, dan pertanian. Namun fungsi gambut yang paling mengemuka adalah kemampuannya menyimpan air, gambut bisa menyimpan 90 persen volume air hingga ekosistem ini diharapkan bisa menyangga hidrologi kawasan sekitar agar tidak kebanjiran dan supaya tak tergerus intrusi air laut. Bila musim kemarau datang, gambut memberikan pasokan airnya Ke daerah sekitarnya dan kawasan itu tidak rawan api karena ia masih tergenang air yang cukup. Gambut terus terdegradasi dalam hal luasan dan kualitas, terutama karena kegiatan pembuatan parit, baik yang dibuat secara legal maupun ilegal, di dalam ataupun di sekitar lahan dan hutan gambut. Parit di lahan gambut umumnya bermuara kepada satu atau beberapa sungai besar, inilah yang mempermudah aksi pembalakan liar karena kayu tinggal digelontorkan menuju sungai dan dihentikan di desa yang dituju (Wetlands International, 2005). Ketika saluran dan parit dibangun, banyak materi galian parit, seperti lumpur tanah mineral, serasah tanaman yang masih segar, maupun gambut, secara sengaja atau tidak ikut masuk ke sungai. Akibatnya, kedalaman sungai pun menjadi dangkal dan kualitas air pun berubah sehingga mengancam ekosistem perairan seperti yang terjadi di anak sungai Puning, Kalimantan Tengah. Tabat Salah satu upaya yang terus digencarkan untuk mengembalikan kondisi hidrologi di parit lahan dan hutan gambut adalah dengan menyekat saluran ("canal blocking"). Dengan menyekat debit air di saluran dan parit, maka tinggi muka air dan retensi air di dalam parit dan sekitar hutan gambut bisa ditingkatkan, sehingga kerentanan terbakar pada musim kering bisa berkurang. Di Kalimantan Tengah, kegiatan menyekat parit air di sekitar lahan dan hutan gambut terkenal dengan sebutan "menabat", diambil dari kata dasar "tabat". Tujuannya untuk menjaga air tetap berada di lahan gambut, bukan menutup seluruh saluran itu dengan tanah atau bebatuan karena hal tersebut bisa mengubah ekosistem gambut. Penabatan juga tidak bisa dilakukan secara sembarangan, perlu ada kajian khusus untuk mencari tahu berapa jumlah dan sebaran yang perlu dibuat di sepanjang saluran. Lewat citra satelit Landsat dan pembuktian di lapangan, bisa diketahui jumlah banyak parit atau saluran yang harus ditabat dan dengan jarak berapa meter antar-sekat tadi. Selain itu, jenis dan banyaknya materi penyekat akan sangat bergantung pada dimensi ukuran fisik parit termasuk panjang, lebar, kedalaman, dan jarak antar-parit. Selain itu, kemiringan lahan juga harus diketahui agar dipastikan jumlah sekat yang dibutuhkan. Jumlah penyekat untuk satu ruas saluran/parit disesuaikan dengan kemiringan atau topografi lahan gambut, tinggi muka air tanah yang diharapkan untuk naik, dan kecepatan aliran air di dalam parit/saluran. Semakin tinggi air tanah dapat dinaikkan di lahan gambut, maka semakin kecil peluang lahan di sekitarnya terbakar. Jika parit berada di lahan gambut yang kemiringannya curam, yaitu dari hilir menuju kubah gambit, maka aliran air yang ditimbulkan ke bagian hilir akan lebih cepat. Pada kondisi semacam ini, sebaiknya jarak sekat yang dibangun untuk saluran itu adalah tiap sekitar 100-200 meter. Sekat-sekat yang tersusun seperti ini akan terlihat mirip tangga dan dapat memperpanjang umur sekat karena kekuatan arus yang menghantam sekat akan diredam oleh masing-masing sekat. Selain itu model sekat ini bisa memperluas daerah genangan atau jangkauan pembasahan oleh air di lahan gambut, karena semakin banyak air yang akan tertahan. Menabat juga paling efektif bila dilakukan menjelang musim kemarau dan dimulai dari bagian hulu parit/saluran. Biaya dan Sosialisasi Menurut pemantauan ANTARA di lapangan, saat ini, berbagai pihak mencoba ikut menabat saluran/parit di lokasi eks proyek PLG, termasuk di antaranya WWF Indonesia, Yayasan BOS, CIMTROP, dan Wetlands International Indonesia. Untuk menabat parit/saluran di sekitar lahan dan hutan gambut biayanya bisa sangat beragam, bahkan mencapai ratusan juta rupiah. Sebagai gambaran, untuk membangun satu unit tabat di SPI dengan lebar saluran mencapai 28 meter, biaya yang dibutuhkan antara Rp90juta dan Rp100 juta, sedangkan untuk tabat di Saluran Primer Utama (SPU) dengan lebar 14 meter perlu dana Rp60juta-Rp75 juta. Mahalnya biaya membuat tabat tak lain disebabkan oleh alat dan bahan yang 80 persen didatangkan dari luar lokasi parit/saluran. Tabat yang gencar dilakukan ini sejatinya adopsi terhadap kearifan masyarakat Dayak, karena bagi penduduk lokal tabat adalah istilah untuk sekat parit, yang lazim mereka bangun di muara parit, sementara parit orang Dayak banyak sebut dengan istilah handil. Itu sebabnya, dalam restorasi sistem hidrologi di lahan dan hutan gambut eks PLG diupayakan semaksimal mungkin mengundang partisipasi masyarakat, salah satunya dengan menjadikan tenaga lokal sebagai pelaksana di lapangan. Lebih dari itu, masyarakat juga bisa mendapatkan keuntungan dengan keberadaan tabat, karena selain berfungsi menyimpan air dan mencegah kebakaran, parit yang ditabat juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat budidaya ikan oleh masyarakat setempat. Berbagai jenis ikan gabus, ikan biawan, dan ikan lele bisa dikembangbiakkan di parit-parit yang disekat atau danau dan rawa berair hitam.(*)