Jakarta (ANTARA News) - Kerugian Garuda Indonesia diduga sebagian besar akibat penggelembungan harga (mark up) dari transaksi pembelian pesawat Airbus A330-300 pada periode 1988-1992 sehingga perlu dilakukan pengusutan. Dugaan mark up ini disampaikan Poltak Hotradero, anggota Masyarakat Profesional Madani (MPM) yang juga pengamat penerbangan dalam talkshow bertajuk "Warisan Garuda yang tetap Membebani" bersama ekonom INDEF Avilliani dan Hasto Keristianto, anggota Komisi VI-DPR RI di Jakarta, Rabu. "Berdasarkan data yang diperoleh, pada 1989 pesawat Airbus 330-300 dibeli Garuda sekitar US$ 214 juta per pesawat dengan nilai kontrak US$ 1,2 miliar untuk enam pesawat. Padahal pada 2003, jika di lihat di website Airbus, harga A330-300 adalah US$ 140 juta" ujarnya. Menurut Poltak, ada penggelembungan harga yang cukup besar. Persetujuan kontrak ini dibuat sepihak dan tidak transparan. Ini harus diusut karena sebesar US$ 470 juta dari US$ 748 juta utang Garuda berasal dari pembelian A330-300 tersebut. "Artinya, hingga kini Garuda membayar utang-utang hasil mark up, bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya," ujarnya. Dengan utang-utang itu, Garuda sebagai sebuah maskapai besar di Indonesia akan sulit untuk bersaing dalam rute internasional. Karena, Garuda Indonesia hanya mempunyai sembilan pesawat untuk rute internasional, yaitu 6 pesawat A330 dan 3 pesawat Boeing 747.(*)