Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), selaku pembentuk Undang Undang, untuk melengkapi ketentuan dalam Pasal 20 UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

"Demi memberikan kepastian kepada setiap orang, Mahkamah memandang penting untuk memberikan catatan bahwa kepada pembentuk Undang Undang disarankan melengkapi ketentuan dalam Pasal 20 UU 26 Tahun 2000," ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa.

Hal itu dikatakan oleh Palguna ketika membacakan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah atas permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) terhadap UUD 1945.

Pemohon dari uji materi ini dinilai Mahkamah mengalami ketidakpastian yang disebabkan oleh masalah yang timbul dalam penerapan Pasal 20 ayat (3) maupun Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU 26/2000, khususnya perbedaan pendapat antara Penyelidik (Komnas HAM) dan Penyidik (Jaksa Agung)

Mahkamah menyebutkan bahwa Pasal 20 UU 26 tahun 2000 perlu dilengkapi untuk memberikan jalan keluar atas tiga persoalan penting terkait kasus Hak Asasi Manusia.

"Harus ada penyelesaian atau jalan keluar dalam hal terjadi perbedaan pendapat yang berlarut-larut antara Penyelidik (Komnas HAM) dan Penyidik (Jaksa Agung) mengenai dugaan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, khususnya kelengkapan hasil penyelidikan," ujar Palguna.

Yang kedua adalah penyelesaian atau jalan keluar apabila tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) UU 26/2000 terlampaui dan Penyelidik (Komnas HAM) tidak mampu melengkapi kekurangan hasil penyelidikannya.

Selanjutnya, kemungkinan langkah-langkah hukum yang dapat ditempuh oleh warga negara yang merasa dirugikan oleh pengaturan pada dua hal sebelumnya.

Palguna juga mengatakan bahwa dengan adanya ketegasan pengaturan yang demikian maka pada masa yang akan datang tidak ada warga negara yang mengalami ketidakpastian hukum sebagaimana yang dialami para Pemohon.

"Oleh karena itu, sesuai dengan semangat UUD 1945, maka seharusnya semua pihak mengutamakan bekerjanya supremasi hukum di atas pertimbangan lainnya, sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945," pungkas Palguna.

Permohonan uji materi ini diajukan oleh Paian Siahaan dan Yati Ruyati yang keduanya adalah keluarga korban peristiwa Mei 1998.

Keduanya merasa bahwa ketidakjelasan penafsiran Pasal 20 ayat (3) UU a quo mengakibatkan ketidakpastian hukum atas peristiwa pelanggaran HAM pada peristiwa Mei 1998.

Hingga saat ini Jaksa Agung belum menindaklanjuti perkara pelanggaran HAM tersebut dengan alasan bahwa berkas penyelidikan Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) belum cukup dengan mendasarkan pada Pasal 20 ayat (3) UU a quo.

Ketidakpastian hukum tersebut selain menghambat hak para Pemohon atas keadilan juga menghambat hak untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagai korban pelanggaran HAM berat.