Jakarta (ANTARA News) - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan harga rokok yang mahal merupakan instrumen untuk melindungi konsumen dari dampak negatif yang ditimbulkan produk tembakau.

"Tembakau adalah barang yang dikenai cukai karena bukan barang normal yang justru seharusnya dihindari oleh masyarakat," kata Tulus melalui pesan singkat di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan harga rokok yang mahal dan tarif cukai yang tinggi dimaksudkan agar masyarakat tidak semakin terperosok pada dampak merusak rokok baik secara individu, orang lain sebagai perokok pasif maupun lingkungan.

Karena itu, mengaitkan harga rokok yang dibuat mahal dengan daya beli masyarakat adalah suatu hal yang tidak tepat. Rokok dibuat mahal memang agar masyarakat tidak membelinya, terutama orang miskin dan anak-anak.

"Desakan agar harga rokok dinaikkan minimal Rp50 ribu per bungkus terus menguat. Kenaikan harga itu akan berdampak positif bagi masyarakat dan negara karena akan mengurangi jumlah perokok dan beban kesehatan yang harus ditanggung," tuturnya.

Menurut Tulus, mengaitkan dampak kenaikan harga rokok dan tarif cukai dengan nasib petani dan tenaga kerja juga tidak relevan. Ancaman petani dan pekerja bukan pada harga rokok yang tinggi.

Ancaman yang sebenarnya dihadapi petani tembakau lokal adalah tembakau impor. Selama ini, tembakau lokal tidak terserap pasar karena industri lebih banyak memilih tembakau impor.

Sedangkan ancaman utama buruh pabrik rokok adalah mekanisasi. Industri lebih memilih memproduksi rokok menggunakan mesin yang bisa menggantikan 900 orang buruh karena lebih efisien dan menguntungkan.

"Jadi ancaman petani dan buruh rokok itu bukan harga rokok dan kenaikan tarif cukai melainkan industri rokok sendiri," ujarnya.