Pakar: kontribusi digitalisasi untuk perekonomian belum tampak
22 Agustus 2016 19:07 WIB
Dokumentasi: Optimisme Pertumbuhan Ekonomi Suasana deretan gedung bertingkat di Jakarta, Selasa (29/3/16). Bank Indonesia optimis pertumbuhan ekonomi tahun 2016 berkisar 5,2 hingga 5,6 persen yang didorong investasi pemerintah, konsumsi dan investasi swasta. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan) ()
Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Iwan Jaya Azis mengatakan hingga saat ini kontribusi ekonomi digital maupun teknologi digital bagi perekonomian secara keseluruhan belum tampak.
Iwan Jaya Azis yang merupakan pengajar di Cornell University, Amerika Serikat menyampaikan hal itu dalam diskusi wining the digital war yang digelar oleh IndonesiaX di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan bila teknologi digital atau digital ekonomi memiliki kontribusi terhadap perekonomian, maka seharusnya jumlah barang dan jasa maupun produktifitas meningkat.
Namun pada kenyataannya produktivitas justru menurun seiring dengan perkembangan teknologi digital, meski ada keuntungan yang dirasakan perusahaan maupun industri tertentu.
"Ada kemungkinan, semoga saya salah, digital ekonomi, digital teknologi oversold atau overdamped, realitinya belum, jadi realitinya tidak secepat yang kita dengar dan kita baca, karena evidencenya (buktinya) tidak saya lihat," katanya.
Ia mengatakan, transformasi ekonomi digital juga belum diikuti oleh perubahan pola pemikiran (mindset) secara luas. Dalam ekonomi digital, bisnis model lama yang mengamsumsikan lingkungan tertutup (closed) dan stabil (stable) tidak dapat lagi bertahan. Lingkungan menjadi dinamis, terbuka (open) dan tidak stabil (unstable).
"Bisnis model harus berubah, kalau tidak dengan cepat apa yang anda lakukan sukses saat ini berubah, sepuluh tahun ke depan benar-benar akan berubah. Apakah bisnis model yang mengasumsikan bahwa bisnis lama closed and stable environment menjadi open and unstable environment bisa diantisipasi bisa direspon oleh bisnis model yang baru?," katanya.
Untuk itu, perubahan pola pikir tersebut harus disebarkan secara luas. Pendidikan menurut dia, merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan untuk membantu mengubah pola pikir.
Selain itu, desain kebijakan yang tepat bagi masyarakat juga dibutuhkan. Ia mencontohkan, selama satu dekade lembaga internasional berupaya mengurangi kemiskinan melalui bantuan tunai dengan menggunakan data digital satelit di sejumlah wilayah Afrika seperti Mali dan Kenya. Hasilnya justru gagal.
"Ahli-ahli sudah dikerahkan gagal, mengapa? Ternyata sederhana, saat mereka menggunakan satelit, mereka menemukan ternyata banyak masyarakat desa yang tidak terjangkau dan kemudian mereka tidak menerima uangnya, kedua yang menerima uang bukan masyarakat yang seharusnya, bukan masyarakat miskin. Kemudian dia menggunakan tipe atap, jadi di Mali kalau rumah di desa kalau sudah dirumbai itu miskin, kalau dari metal itu kaya, dalam satu tahuan diterapkan perbaikannya 80 persen," katanya.
Iwan Jaya Azis yang merupakan pengajar di Cornell University, Amerika Serikat menyampaikan hal itu dalam diskusi wining the digital war yang digelar oleh IndonesiaX di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan bila teknologi digital atau digital ekonomi memiliki kontribusi terhadap perekonomian, maka seharusnya jumlah barang dan jasa maupun produktifitas meningkat.
Namun pada kenyataannya produktivitas justru menurun seiring dengan perkembangan teknologi digital, meski ada keuntungan yang dirasakan perusahaan maupun industri tertentu.
"Ada kemungkinan, semoga saya salah, digital ekonomi, digital teknologi oversold atau overdamped, realitinya belum, jadi realitinya tidak secepat yang kita dengar dan kita baca, karena evidencenya (buktinya) tidak saya lihat," katanya.
Ia mengatakan, transformasi ekonomi digital juga belum diikuti oleh perubahan pola pemikiran (mindset) secara luas. Dalam ekonomi digital, bisnis model lama yang mengamsumsikan lingkungan tertutup (closed) dan stabil (stable) tidak dapat lagi bertahan. Lingkungan menjadi dinamis, terbuka (open) dan tidak stabil (unstable).
"Bisnis model harus berubah, kalau tidak dengan cepat apa yang anda lakukan sukses saat ini berubah, sepuluh tahun ke depan benar-benar akan berubah. Apakah bisnis model yang mengasumsikan bahwa bisnis lama closed and stable environment menjadi open and unstable environment bisa diantisipasi bisa direspon oleh bisnis model yang baru?," katanya.
Untuk itu, perubahan pola pikir tersebut harus disebarkan secara luas. Pendidikan menurut dia, merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan untuk membantu mengubah pola pikir.
Selain itu, desain kebijakan yang tepat bagi masyarakat juga dibutuhkan. Ia mencontohkan, selama satu dekade lembaga internasional berupaya mengurangi kemiskinan melalui bantuan tunai dengan menggunakan data digital satelit di sejumlah wilayah Afrika seperti Mali dan Kenya. Hasilnya justru gagal.
"Ahli-ahli sudah dikerahkan gagal, mengapa? Ternyata sederhana, saat mereka menggunakan satelit, mereka menemukan ternyata banyak masyarakat desa yang tidak terjangkau dan kemudian mereka tidak menerima uangnya, kedua yang menerima uang bukan masyarakat yang seharusnya, bukan masyarakat miskin. Kemudian dia menggunakan tipe atap, jadi di Mali kalau rumah di desa kalau sudah dirumbai itu miskin, kalau dari metal itu kaya, dalam satu tahuan diterapkan perbaikannya 80 persen," katanya.
Pewarta: Muhammad Arief Iskandar
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016
Tags: