MPSI: kenaikan wajar harga rokok 6 persen
21 Agustus 2016 22:08 WIB
Dokumentasi: Rencana Kenaikan Cukai Sejumlah pekerja mitra produksi sigaret (MPS) PT HM Sampoerna melinting rokok dengan peralatan tradisional di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (29/10/15). (ANTARA FOTO/Aguk Sudarmojo) ()
Surabaya (ANTARA News) - Ketua Paguyuban Mitra Pelinting Sigaret Indonesia (MPSI) Djoko Wahyudi mengatakan kenaikan harga rokok yang wajar adalah berkisar 6 persen atau seperti saat ini, karena akan sejajar dengan kenaikan tarif cukai yang berada pada angka yang sama.
Djoko, dalam keterangan persnya di Surabaya, Minggu menawarkan solusi kepada pemerintah sebaiknya menaikkan cukai khusus sigaret kretek mesin (SKM) berfilter, apabila tujuannya menahan laju pertumbuhan perokok baru di kalangan anak muda.
Karena menurut Djoko, konsumen baru cenderung memilih rokok SKM berfilter yang dianggap lebih modern, dan berbeda dengan dengan sigaret kretek tangan (SKT) yang konsumennya cenderung berusia dewasa.
Terkait usulan kenaikan harga rokok menjadi Rp50 ribu per bungkus, yang dikeluarkan Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Djoko menganggap hal itu akan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.
"Hasil studi yang dikeluarkan Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany itu adalah hasil studi yang tidak berdasar dan tidak ilmiah," katanya.
Ia mengatakan apabila harga rokok dinaikkan menjadi Rp50 ribu per bungkus, akan terjadi adalah rokok tidak akan terbeli, dan target cukai negara dipastikan anjlok.
"Belum lagi kemungkinan marak beredarnya rokok tanpa cukai atau ilegal karena mahalnya harga rokok," katanya.
Masalah lain yang timbul adalah dari kalangan industri hasil tembakau (IHT) dan petani tembakau Indonesia, yang akan merasionalisasi tenaga kerja serta menyetop pembelian tembakau, sehingga berakibat pada menurunnya pendapatan para petani tembakau, yang dikarenakan rokok sudah tidak terbeli.
"Dampak reduksi IHT akan menimbulkan PHK besar-besaran. Terutama dari kalangan tenaga kerja industri rokok yang jumlahnya secara nasional saat ini mencapai sekitar 1,5 juta tenaga kerja," katanya.
Ia mengatakan pekerja pelinting sigaret yang tersebar di 38 koperasi mitra pelinting di wilayah Jatim, Jateng, Jabar dan DIY juga akan merasa resah, karena pekerjaannya akan terancam jika harga rokok dinaikkan Rp50 ribu per bungkus.
"Ini kan sama saja dengan tindak terorisme, karena membuat orang resah disaat situasi tenang. Saya bisa tuntut itu," ucap Djoko.
Sebelumnya Gubernur Jawa Timur Soekarwo di Surabaya mengaku usulan kenaikan harga rokok hingga Rp50 ribu demi memenuhi target pendapatan pajak dianggap sebagai kebijakan yang terburu-buru.
Soekarwo mengatakan jika alasan menaikkan harga rokok tersebut untuk mencegah anak agar tidak merokok, sangat tidak efektif, sebab saat ini terdapat sekitar 6,1 juta orang yang menggantungkan hidupnya dari rokok.
Hal ini termasuk juga pendapatan daerah dari cukai rokok yang sudah cukup tinggi, seperti Provinsi Jawa Timur yang mendapatkan sumbangan dari cukai rokok hingga Rp2,2 triliun, yang kemudian dibagi sebesar 30 persen untuk pemerintah provinsi dan sisanya untuk 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.
(A067/T007)
Djoko, dalam keterangan persnya di Surabaya, Minggu menawarkan solusi kepada pemerintah sebaiknya menaikkan cukai khusus sigaret kretek mesin (SKM) berfilter, apabila tujuannya menahan laju pertumbuhan perokok baru di kalangan anak muda.
Karena menurut Djoko, konsumen baru cenderung memilih rokok SKM berfilter yang dianggap lebih modern, dan berbeda dengan dengan sigaret kretek tangan (SKT) yang konsumennya cenderung berusia dewasa.
Terkait usulan kenaikan harga rokok menjadi Rp50 ribu per bungkus, yang dikeluarkan Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Djoko menganggap hal itu akan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.
"Hasil studi yang dikeluarkan Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany itu adalah hasil studi yang tidak berdasar dan tidak ilmiah," katanya.
Ia mengatakan apabila harga rokok dinaikkan menjadi Rp50 ribu per bungkus, akan terjadi adalah rokok tidak akan terbeli, dan target cukai negara dipastikan anjlok.
"Belum lagi kemungkinan marak beredarnya rokok tanpa cukai atau ilegal karena mahalnya harga rokok," katanya.
Masalah lain yang timbul adalah dari kalangan industri hasil tembakau (IHT) dan petani tembakau Indonesia, yang akan merasionalisasi tenaga kerja serta menyetop pembelian tembakau, sehingga berakibat pada menurunnya pendapatan para petani tembakau, yang dikarenakan rokok sudah tidak terbeli.
"Dampak reduksi IHT akan menimbulkan PHK besar-besaran. Terutama dari kalangan tenaga kerja industri rokok yang jumlahnya secara nasional saat ini mencapai sekitar 1,5 juta tenaga kerja," katanya.
Ia mengatakan pekerja pelinting sigaret yang tersebar di 38 koperasi mitra pelinting di wilayah Jatim, Jateng, Jabar dan DIY juga akan merasa resah, karena pekerjaannya akan terancam jika harga rokok dinaikkan Rp50 ribu per bungkus.
"Ini kan sama saja dengan tindak terorisme, karena membuat orang resah disaat situasi tenang. Saya bisa tuntut itu," ucap Djoko.
Sebelumnya Gubernur Jawa Timur Soekarwo di Surabaya mengaku usulan kenaikan harga rokok hingga Rp50 ribu demi memenuhi target pendapatan pajak dianggap sebagai kebijakan yang terburu-buru.
Soekarwo mengatakan jika alasan menaikkan harga rokok tersebut untuk mencegah anak agar tidak merokok, sangat tidak efektif, sebab saat ini terdapat sekitar 6,1 juta orang yang menggantungkan hidupnya dari rokok.
Hal ini termasuk juga pendapatan daerah dari cukai rokok yang sudah cukup tinggi, seperti Provinsi Jawa Timur yang mendapatkan sumbangan dari cukai rokok hingga Rp2,2 triliun, yang kemudian dibagi sebesar 30 persen untuk pemerintah provinsi dan sisanya untuk 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.
(A067/T007)
Pewarta: A Malik Ibrahim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016
Tags: