Jakarta (ANTARA News) - Ada kata umum dan ada kata khusus. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa setiap bahasa pasti melahirkan kata umum, dan tak selalu melahirkan kata khusus.

Bahasa Indonesia, Inggris, Itali, Catalan, Arab, dan lainnya sejak awal punya kata umum untuk menyebut benda-benda yang ada di sekitar, mengungkapkan perasaan senang dan sedih. Kata kerja yang menyatakan kegiatan keseharian pun menjadi kosa kata mereka sejak awal.

Namun, kata-kata khusus, istilah, tak lahir secara universal di setiap kultur yang melahirkan bahasa. Semakin tua sebuah peradaban, apalagi dibarengi semakin kaya buah pikiran yang terlahir dari sana, semakin banyak kata-kata khusus yang lahir, yang tak mungkin dilahirkan oleh peradaban yang terbangun belakangan.

Kata-kata khusus yang lahir di kebudayaan bangsa-bangsa di Eropa, yang tak lahir di kebudayaan lain, dalam perkembangan interaksi bangsa-bangsa akhirnya menjadi kata yang mengglobal karena relasi antarbahasa yang dimungkinkan lewat penerjemahan.

Dalam konteks bahasa Indonesia, kata-kata khusus yang mengandung konsep tertentu bukanlah produk lokal. Jumlah kata-kata dalam jenis demikian tentu cukup banyak. Sebagai contoh kata khusus "etika", "ateisme", "agnostisisme", "hedonisme", "feminisme", "demokrasi" bukanlah produk dalam negeri.

Kata-kata itu lahir dari kultur Barat, yang diserap dan dijadikan warga kata-kata dalam bahasa Indonesia.

Sebagian dari kata-kata khusus itu sudah menjadi pengetahuan umum dan banyak orang yang tak perlu membuka kamus lagi untuk mengetahui makna yang dikandung dalam konsep produk Barat itu.

Namun tak jarang apa yang dipahami oleh kalangan awam itu justru tak secara akurat seperti yang dimaksudkan oleh makna istilah itu. Jika orang awam itu bukan individu yang menghasilkan produk intelektual untuk konsumsi umum, tak ada dampak viral yang dilahirkan.

Urusannya jadi lain jika pemahaman awam itu juga dimiliki individu yang kebetulan punya profesi sebagai salah satu anggota penyusun kamus. Kurang lebih seperti itulah situasinya yang terjadi dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ketika memaknai kata-kata khusus yang merupakan produk kebudayaan luar.

Untuk memaknai kata-kata yang merupakan hasil kebudayaan dalam negeri relatif tak banyak problem. Tapi begitu menyangkut pemaknaan kata-kata khusus, terjadilah situasi ini: ada nuansa makna yang meleset, melenceng alias tak akurat dengan makna yang diberikan oleh pekamus warga budaya yang melahirkan kata-kata khusus itu.

Inilah beberapa contoh kasus. Ada perbedaan tajam antara Oxford Advanced Leaners Dictionary of Current English dan KBBI dalam mendefinisikan arti kata khusus yang lahir dari kultur luar seperti "ateis".

Oleh AS Hornby, kata khusus itu diberi batasan makna sebagai berikut: "Person who believes that there is no God." (Orang yang percaya bahwa tidak ada Tuhan). Tekanan yang diberikan oleh pekamus Eropa itu adalah "orang yang percaya", "orang yang yakin". Percaya atau yakin terhadap apa? Terhadap ketiadaan Tuhan, alias "ateisme", a=tidak; teis, teo=Tuhan.

Apa yang diformulasikan Hornby itu, dibandingkan dengan apa yang dirumuskan para penyususn KBBI dalam memaknai "ateis", berbeda secara tajam jika disimak secara semantis dan morfologis namun tak tampak perbedaannya jika dipikir sepintas.

Inilah rumusan KBBI tentang kata khusus itu: "orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan." Definisi ini jelas mengingkari makna yang terbentuk dari dua unsur dalam kata khusus itu, yakni "a" dan "teis". Tekanan penafikan, negasi yang direpresentasikan oleh "a" yang melekat dalam "teis" tak bisa dicomot untuk ditempatkan jauh dari unsur "teis", dalam hal ini didekatkan pada verba "percaya".

Para penyusun KBBI boleh jadi khilaf, tak mafhum bahwa penerjemahan yang akurat adalah tidak mencomot seenaknya unsur yang melekat dalam satu kata untuk diletakkan di kata lain yang bukan menjadi bagian darinya.

Tapi itulah yang dilakukan salah satu penyusun KBBI yang kebagian memaknai "ateis". Mengapa terjadi demikian? Beberapa dugaan yang bisa dikemukakan di sini adalah metode pengerjaan KBBI yang mungkin tak melibatkan para akademisi berbagai bidang yang paham betul tentang kata-kata khusus itu.

Atau pelibatan itu sudah dilakukan namun kurang intensif sehingga ada yang terluput dari perhatian mereka.

Sebetulnya, tanpa melibatkan akademisi berbagai disiplin ilmu pun, kesalahan dalam memaknai kata-kata khusus itu tidak akan terjadi jika para penyusun KBBI merujuk kamus-kamus standar dalam bahasa yang melahirkan istilah itu.

Namun, masih ada kemungkinan lain: awak penyusun KBBI itu memang sengaja memberikan makna "ateis" yang tak seperti makna yang dikandung oleh kata khusus itu. Mengapa begitu? Siapa tahu, sang penyusun, yang kebetulan mendapat bagian memaknai kata khusus itu, sengaja memperlihatkan ideologi sakralnya untuk menistakan kaum yang beriman pada kehampaan atas eksistensi illahi itu.

Artinya, dengan memberikan definisi sebagaimana termaktub dalam KBBI itu, sang penyusun telah melampiaskan hasratnya untuk mengutuk penganut paham yang tak diberi ruang berpolitik oleh Pancasila.

Dengan demikian bukan hanya politisi dan aktivis politik yang harus berpihak, pekerja di ranah keilmuan pun harus bersikap! Dan pekamus pun bisa menyandang predikat Pancasilais, dengan atau sonder adjektiva "sejati".

(M020/T013)