New Jersey (ANTARA News) - Hubungan Indonesia dan Turki sudah terjalin sejak negara kepulauan
terbesar di dunia tersebut masih di bawah kendali penjajahan ratusan
tahun silam.
Saat masa kejayaan Kekhilafahan Utsmaniah (1299-1924) di Turki, Sultan Islam sempat mengirimkan bantuan pasukan ke Nusantara, khususnya Aceh pada 1565 guna mendukung Kesultanan Aceh (Samudera Pasai) melawan Portugis.
Hubungan yang telah terjalin lama antara Sultan Islam di Turki dengan para pemimpin kerajaan di Nusantara juga diungkapkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X pada Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta.
"Sultan Turki Utsmani meresmikan Kesultanan Demak pada tahun 1479 sebagai perwakilan resmi Khalifah Utsmani di Tanah Jawa," ujar Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu saat memberikan sambutan pada kegiatan yang berlangsung pada 8 - 11 Februari 2015.
Peresmian tersebut, menurut Sri Sultan HB X, ditandai dengan penyerahan bendera hijau bertuliskan kalimat tauhid.
"Bendera hadiah Sultan Utsmani masih tersimpan baik di Keraton Yogya," ujar Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat itu.
Menurut HB X, Sultan Turki pula yang mengukuhkan Raden Fatah sebagai Khalifatullah di Jawa.
"Perwakilan Khilafah Turki di Tanah Jawa ditandai dengan penyerahan bendera hitam dari kiswah Kabah bertuliskan kalimat tauhid, dan bendera hijau bertuliskan Muhammad Rasulullah," tutur pria bernama lahir Herjuna Darpito itu.
Sri Sultan HB X juga menyebutkan pada 1903 Sultan Turki mengutus M. Amin Bey yang menyatakan haram hukumnya penguasa Muslim tunduk pada Belanda.
Setelah tak ada lagi Khilafah Islam yang berakhir pada 1924, Pemerintah Turki yang berlandaskan nasionalisme juga mengakui kemerdekaan Indonesia pada 29 Desember 1949.
Hubungan diplomatik "moderen" antara kedua negara ditandai dengan pembukaan Kedutaan Besar Turki di Jakarta pada 10 April 1957.
Hingga saat ini, Indonesia dan Turki mampu membina hubungan di berbagai sektor termasuk bidang diplomasi, kebudayaan, ekonomi dan sosial.
Di bidang diplomasi, kedua negara telah melakukan saling kunjungan antar-pejabat negara dan masing-masing telah membuka kedutaan besarnya di ibukota negara.
Pada Juli 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Ibu Negara Emine Erdogan dalam sebuah kunjungan kenegaraan di Istana Merdeka, Jakarta.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan kunjungan kenegaraan ke Turki untuk pertama kalinya, setelah menghadiri pertemuan Kelompok 20 Negara (G-20) di Toronto, Kanada, pada Juni 2010.
SBY juga menyatakan selama menjalin kerja sama, Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan telah dua kali berkunjung ke Indonesia.
"Oleh karena itu, untuk meningkatkan kerja sama di bidang politik, ekonomi, budaya, dan pariwisata, kami berkunjung kali ini ke sana," katanya.
Selama berada di Turki, Kepala Negara melakukan pertemuan bilateral dan menghadiri acara penandatanganan nota kesepahaman antara lain kerja sama bidang teknik serta usaha kecil dan menengah.
Harapan bersatu
Kudeta gagal di Turki pada 15 Juli 2016 memperlihatkan besarnya kadar perseteruan dua tokoh Turki, Presiden Erdogan dan Fethullah Gulen, yang dahulunya merupakan saudara seperjuangan dalam menghapus wajah sekulerisme negara tersebut.
Erdogan dan Gulen melihat bahwa sekulerisme dan paham-paham turunannya, seperti liberalisme dan persmisifisme telah mengikis nilai-nilai Islam dalam masyarakat.
Sekulerisme yang menjauhkan kehidupan dari ajaran agama telah memarjinalkan rakyat di desa-desa dan daerah terpencil dari kaum elit yang menikmati gaya hidup Barat tersebut.
Gulen mengasingkan diri di Pennsylvania, Amerika Serikat (AS), sejak 1999, setelah dituduh berusaha menggulingkan rezim sekuler Turki.
Oleh karena saling berebut pengaruh dan kekuasaan, maka hubungan Erdogan dan Gulen pupus.
Pemerintah Erdogan menuduh Fethulah Gulen sebagai tokoh di balik aksi berdarah tersebut namun tokoh spiritual tersebut menolak tuduhan itu.
Bagi Indonesia, ke dua tokoh negara tersebut memiliki pengaruh yang besar karena Erdogan telah menjaga hubungan baik dengan Indonesia di berbagai bidang.
Sementara itu, Fethullah Gulen paling tidak telah memberi sumbangan di bidang pendidikan yang telah membantu mencerdaskan pelajar Indonesia.
Fethullah Gulen telah membangun sekolah di beberapa daerah di Indonesia antara lain di Jakarta, Banjarmasin, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Tangerang, Aceh dan Sragen.
Selain itu, ulama kharismatik itu juga memberi kesempatan pemuda Indonesia belajar ke Turki. Saat ini sekitar 3.000 orang Indonesia berada di Turki dan sebagian besar dari mereka sedang menempuh pendidikan di berbagai disiplin ilmu.
Pemerintah Turki baru-baru ini berencana menutup sekolah-sekolah tersebut namun pemerintah Indonesia meminta pemerintah Turki untuk mengurungkan niat tersebut dan menghormati hukum yang berlaku di Indonesia.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan sejumlah sekolah yang berada di Indonesia akan terus menjalankan kegiatan belajar mengajarnya. Retno juga menjelaskan pihak Kemendikbud telah mengunjungi beberapa sekolah yang diminta oleh pemerintah Turki untuk ditutup.
Oleh karena itu, kedua tokoh Turki yang pernah bersahabat, namun kemudian berseteru itu merupakan suatu hal yang memprihatinkan bagi Indonesia.
Sesaat setelah peristiwa 15 Juli tersebut, Wakil Presiden M. Jusuf Kalla (JK) menyampaikan salam kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, serta berharap masalah itu dapat segera terselesaikan secara baik.
Kiranya, bila dua tokoh berpengaruh di Turki bisa bersahabat lagi, negara itu akan terus maju dan negara tetangganya seperti Indonesia dapat meningkatkan kerjasamanya demi kepentingan negara dan bangsanya.
Banyak masyarakat Indonesia dan Turki merasa bersaudara satu sama lain bahkan sudah ada perkawinan antara pemuda dan pemudi kedua negara.
Rasa persaudaraan yang tinggi juga ditunjukan oleh sebagian pengusaha Turki yang telah beberapa kali ke Indonesia.
Menganggap rekan bisnis mereka di Indonesia adalah saudara, para pengekspor Istanbul yang tergabung dalam Perhimpunan Pengekspor Istanbul (IEA) memohon kepada pemerintah Indonesia agar mereka dapat lebih dipermudah urusan usaha mereka di Indonesia.
Ketua perusahaan gula-gula Elvan Group Hidayet Kadiroglu mengaku sudah 10 kali ke Indonesia termasuk Bali, Jakarta dan beberapa kota di Pulau Jawa sehingga dia tidak merasa asing di Indonesia dan dia yakin ketika pengusaha Istanbul berinvestasi di Indonesia mereka tidak saja membuat pabrik tapi juga akan tinggal di negara tersebut.
"Karena kita bersaudara dan sesama muslim, bila perlu saya akan tinggal di Indonesia untuk membangun kantor dan pabrik di sana," kata Hidayet yang perusahaannya juga anggota IEA.
Sesungguhnya, Gulen dan Erdogan memiliki satu cita-cita mulia yakni mengembalikan kejayaan Islam seperti ketika para sesepuh mereka memimpin seluruh Umat Islam di bawah kekuatan pemerintahan Khilafah Utsmaniyah.
Semangat dan idealisme dua tokoh Muslim Turki ini merupakan kekuatan bagi dunia Islam untuk kembali membangun peradaban syariah dalam satu kepemimpinan ideologis sekaligus menyingkirkan sekulerisme dan liberalisme yang mewabah di kalangan Umat Islam.
Menyatukan kekuatan Islam menjadi sangat relevan di saat ini ketika 1,7 miliar Muslim terpisahkan oleh batas-batas negara-bangsa yang rentan akan konflik dan permusuhan.
Semoga Gulen dan Erdogan ingat hadis Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Salam bahwa haram bagi sesama Muslim memutuskan hubungan dan bermusuhan serta tidak bertegur sapa lebih dari tiga hari.
Indonesia harapkan Turki bersatu
20 Agustus 2016 06:53 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbincang dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (31 Juli 2015). (ANTARA)
Oleh Bambang Purwanto
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016
Tags: