Ketua Komisi V DPR: daerah tertinggal jadi ukuran kemerdekaan
19 Agustus 2016 10:40 WIB
Anggota Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) RI-Timor Leste menurunkan logistik di Pos perbatasan Mahen di desa Baudaok, Lasiolat, Belu, NTT, Rabu (7/10). Terdapat 20 Pos perbatasan RI-Timor Leste di sektor timur dimana tiap pos dijaga oleh 13-15 personel. (ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo)
Kupang (ANTARA News) - Ketua Komisi V DPR RI Fahry Djemi Francis menilai, ukuran sebuah kemerdekaan harus dilihat dari kehidupan masyarakat di daerah-daerah tertinggal.
"Kita tidak bisa mengukur bahwa kita sudah merdeka, kalau kita hanya melihat kehidupan masyarakat di Jakarta atau di pulau-pulau Jawa, tetapi kemerdekaan itu bisa dilihat secara langsung ada di daerah-daerah tertinggal," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat.
Dia mengemukakan hal itu, menjawab pertanyaan seputar makna Hari Kemerdekaan Indonesia ke-71 yang dirayakan pada Rabu (17/8) lalu.
Menurut dia, ukuran kemerdekaan mestinya dapat dilihat dari kehidupan masyarakat-masyarakat di pelosok daerah tertinggal, khusus di wilayah-wilayah perbatasan seperti Indonesia-Timor Leste.
"Hal yang paling dibutuhkan oleh masyarakat di pedesaan atau di daerah tertinggal dari tahun ke tahun selalu sama saja, yakni berkaitan dengan akses jalan, pendidikan serta berbagai hal yang membuat warga pelosok dinilai masih sangat tertinggal," tuturnya.
Ia mengatakan, saat merayakan HUT Kemerdekaan di desa Laktutus Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, ia melihat dan merasakan secara langsung akses jalan yang sulit dimasuki oleh kendaraan roda empat serta sarana ekonomi lainnya.
Warga daerah perbatasan dalam kunjungan Mendes-PDTT pada Rabu (17/8) lalu juga mengharapkan agar masalah air bersih, pendidikan dan akses jalan dapat diperbaiki sehingga memperlancar aktivitas perekonomian di daerah tersebut.
"Arti kemerdekaan kami adalah adanya sarana infrastruktur yang memadai bagi kami di wilayah pedesaan," kata Patrius Mau, seorang warga.
Patrius justru mengharapkan kedatangan Menteri Desa dapat memberikan dampak yang bagus bagi masyarakat di desa Laktutus yang jaraknya kurang lebih 25 kilometer dari Kota Atambua, ibu kota Kabupaten Belu.
"Kita tidak bisa mengukur bahwa kita sudah merdeka, kalau kita hanya melihat kehidupan masyarakat di Jakarta atau di pulau-pulau Jawa, tetapi kemerdekaan itu bisa dilihat secara langsung ada di daerah-daerah tertinggal," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat.
Dia mengemukakan hal itu, menjawab pertanyaan seputar makna Hari Kemerdekaan Indonesia ke-71 yang dirayakan pada Rabu (17/8) lalu.
Menurut dia, ukuran kemerdekaan mestinya dapat dilihat dari kehidupan masyarakat-masyarakat di pelosok daerah tertinggal, khusus di wilayah-wilayah perbatasan seperti Indonesia-Timor Leste.
"Hal yang paling dibutuhkan oleh masyarakat di pedesaan atau di daerah tertinggal dari tahun ke tahun selalu sama saja, yakni berkaitan dengan akses jalan, pendidikan serta berbagai hal yang membuat warga pelosok dinilai masih sangat tertinggal," tuturnya.
Ia mengatakan, saat merayakan HUT Kemerdekaan di desa Laktutus Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, ia melihat dan merasakan secara langsung akses jalan yang sulit dimasuki oleh kendaraan roda empat serta sarana ekonomi lainnya.
Warga daerah perbatasan dalam kunjungan Mendes-PDTT pada Rabu (17/8) lalu juga mengharapkan agar masalah air bersih, pendidikan dan akses jalan dapat diperbaiki sehingga memperlancar aktivitas perekonomian di daerah tersebut.
"Arti kemerdekaan kami adalah adanya sarana infrastruktur yang memadai bagi kami di wilayah pedesaan," kata Patrius Mau, seorang warga.
Patrius justru mengharapkan kedatangan Menteri Desa dapat memberikan dampak yang bagus bagi masyarakat di desa Laktutus yang jaraknya kurang lebih 25 kilometer dari Kota Atambua, ibu kota Kabupaten Belu.
Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016
Tags: